Oleh: Andi Redani Suryanata, Co-Founder Gen Z Institut

DALAM kancah politik, konsep Incumbency Advantage merujuk pada keunggulan yang dimiliki oleh seorang petahana—mereka yang sedang duduk di tampuk kekuasaan—saat menghadapi lawan dalam pemilihan. Keunggulan ini sering kali muncul dalam bentuk pengenalan publik yang lebih tinggi, rekam jejak yang telah terbentuk, dan akses terhadap sumber daya negara yang bisa digunakan untuk mempertahankan posisi mereka. Namun, seperti pisau bermata dua, keunggulan ini bisa menjadi pedang yang ampuh untuk menaklukkan lawan atau justru menjadi alat yang menghancurkan peluang kemenangan.

Dalam konteks Pilkada Kukar 2024, pasangan Edy-Rendi sebagai petahana seharusnya berada di posisi yang kokoh. Mereka memiliki kendali atas kebijakan daerah dan birokrasi yang sudah tertata, sebuah modal politik yang tidak bisa dianggap remeh. Namun, apakah keunggulan tersebut bisa diambil begitu saja sebagai jaminan kemenangan? Pertanyaan ini lebih relevan daripada sebelumnya, mengingat bahwa dalam politik, kepastian adalah ilusi.

Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa keunggulan petahana bukanlah jaminan yang tak tergoyahkan. Ada satu faktor yang sering diabaikan oleh para politisi yang terlalu percaya diri: persepsi publik. Keuntungan struktural seperti pengenalan nama dan sumber daya negara bisa berbalik menjadi bumerang jika masyarakat merasa kecewa atau tidak puas dengan kinerja petahana.

Jika selama masa jabatan Edy-Rendi tidak ada perubahan nyata yang dirasakan oleh masyarakat Kukar, maka keunggulan yang mereka miliki justru bisa berubah menjadi simbol stagnasi. Bayangkan sebuah jembatan megah yang dibangun dengan biaya besar, tetapi tidak menyambungkan apa-apa—itulah yang akan dirasakan publik terhadap petahana yang gagal memenuhi janji.

Di sinilah krisis layanan publik, ekonomi, atau infrastruktur menjadi isu yang sangat krusial. Jika masyarakat Kukar masih harus berhadapan dengan masalah yang sama—kemacetan yang tidak terurai, lapangan pekerjaan yang tidak bertambah—maka simbol “kemapanan” yang dimiliki petahana menjadi antitesis dari harapan perubahan. Petahana yang awalnya memiliki keunggulan bisa terjebak dalam citra “status quo,” sebuah label yang bagi sebagian besar pemilih adalah sesuatu yang perlu dirombak tanpa ampun.

Dari sini kita belajar bahwa petahana tidak bisa hanya bergantung pada modal kekuasaan yang dimiliki, tetapi juga harus mampu terus berinovasi dan memberikan hasil nyata. Dalam politik, sentimen publik adalah emas yang harus dijaga dengan hati-hati. Petahana yang cerdas akan tahu bahwa keunggulan hanya berarti jika bisa dikonversi menjadi kepuasan publik yang berkelanjutan.

Dinamika Dukungan Partai: Kekuatan di Balik Pertarungan Politik

Pada Pilkada 2020, pasangan Edy-Rendi berhasil menggalang dukungan dari hampir semua partai besar di DPRD, memberikan mereka akses yang kuat terhadap jaringan politik dan sumber daya kampanye. Namun, pada Pilkada 2024, dinamika politik menunjukkan adanya pergeseran signifikan dalam dukungan partai. PDIP memang tetap mendukung petahana, tetapi kehilangan dukungan dari partai-partai besar seperti Golkar, Gerindra, dan PAN yang beralih mendukung pasangan Dendi-Alif. Ini menandakan bahwa kekuatan koalisi di belakang Edy-Rendi telah melemah, sementara lawan mereka didukung oleh koalisi kuat yang berpotensi memperkuat daya saing.

Dalam teori politik, dukungan partai tidak hanya memberikan modal logistik dan finansial, tetapi juga memperluas jangkauan jaringan konstituen. Kehilangan dukungan partai-partai besar bisa mengurangi akses petahana terhadap alat-alat kampanye yang vital serta melemahkan mesin politik yang diperlukan untuk memenangkan suara di lapangan. Sebaliknya, Dendi-Alif, dengan dukungan koalisi besar, akan mampu mengorganisir kampanye yang lebih efektif dan strategis, terutama dalam menggalang dukungan dari berbagai lapisan masyarakat.

Koalisi Lawan: Kombinasi Kekuatan Politik dan Militer

Salah satu faktor penting dalam kontestasi ini adalah kekuatan koalisi yang mendukung pasangan Dendi Suryadi-Alif Turiadi. Koalisi ini tidak hanya terdiri dari partai-partai besar, tetapi juga mengusung figur dengan latar belakang militer, yakni Brigjen TNI Dendi Suryadi. Latar belakang militer sering kali menjadi daya tarik tersendiri bagi pemilih yang menginginkan pemimpin yang tegas, disiplin, dan mampu mengatasi masalah-masalah dengan pendekatan yang lebih “serius.”

Dalam politik Indonesia, tokoh dengan latar belakang militer sering kali memperoleh simpati dari kalangan pemilih yang mendambakan stabilitas dan ketegasan dalam kepemimpinan. Apalagi dengan soliditas koalisi besar di belakangnya, Dendi-Alif dapat menarik suara dari konstituen yang tidak puas dengan kinerja petahana, terutama mereka yang melihat tantangan di bidang keamanan, disiplin birokrasi, dan pemerintahan yang lebih efektif.

Faktor Independensi: Awang Yacoub Luthman-Akhmad Zais

Keberadaan pasangan calon independen seperti Awang Yacoub Luthman dan Akhmad Zais juga menambah warna dalam Pilkada ini. Meskipun tidak memiliki dukungan partai besar, calon independen sering kali menarik simpati dari pemilih yang merasa jenuh dengan politik partai yang dianggap tidak lagi mewakili kepentingan rakyat. Dalam konteks ini, Awang Yacoub-Akhmad Zais dapat menjadi alternatif yang mengganggu stabilitas suara kedua kubu besar.

Calon independen sering kali berhasil mengkapitalisasi sentimen anti-partai, terutama di kalangan pemilih muda dan mereka yang skeptis terhadap elite politik. Mereka dapat memainkan peran sebagai “pengganggu” dalam kontestasi elektoral, mengambil bagian suara yang cukup signifikan untuk mempengaruhi hasil akhir, bahkan jika tidak memenangkan kontestasi secara keseluruhan.

Gejolak Internal PDIP dan Tantangan Nasional

Di sisi lain, PDIP sebagai partai pendukung utama Edy-Rendi tidak terlepas dari gejolak politik di tingkat nasional. Konflik internal di PDIP atau dinamika politik nasional dapat mempengaruhi bagaimana publik Kukar melihat pasangan petahana ini. Dalam politik, fragmentasi atau perselisihan di dalam partai dapat mengganggu fokus kampanye, mengurangi efektivitas mesin politik, dan melemahkan daya saing kandidat di mata pemilih.

Situasi ini semakin diperburuk jika partai tidak mampu menunjukkan soliditas dan fokus dalam mengelola kampanye di tingkat lokal, terutama di tengah tantangan dari koalisi besar di pihak lawan. Dalam kondisi seperti ini, kekuatan petahana tidak lagi semata-mata ditentukan oleh modal awal mereka, melainkan oleh bagaimana mereka mampu merespons tantangan dari berbagai arah.

Mampukah Petahana Bertahan?

Keuntungan sebagai petahana yang dimiliki oleh Edy-Rendi tentu masih menjadi faktor penting dalam Pilkada Kukar 2024, namun tidak bisa dijadikan sandaran utama. Pergeseran dukungan partai, kekuatan koalisi lawan yang solid, munculnya calon independen, serta dinamika politik nasional yang berpotensi mempengaruhi citra mereka, membuat kontestasi ini lebih kompleks dari sekadar perhitungan konvensional tentang keunggulan petahana.

Jika Edy-Rendi ingin mempertahankan kekuasaan, mereka harus mampu mengatasi tantangan-tantangan ini dengan strategi kampanye yang cerdas, mobilisasi dukungan publik yang lebih kuat, serta menunjukkan hasil nyata dari kebijakan yang telah mereka terapkan. Tanpa itu, keunggulan petahana hanya akan menjadi teori yang tidak terwujud dalam kenyataan politik.

*) Tanggung jawab atas opini ini sepenuhnya ada pada penulis sebagaimana tercantum, dan tidak mencerminkan pandangan atau kebijakan redaksi DailyKaltim.co.

Exit mobile version