Dailykaltim.co – Di tengah pusaran modernitas yang kian mendesak warisan tradisional ke pinggiran kehidupan sosial, masyarakat Lamaholot di Flores Timur, Nusa Tenggara Timur, tetap teguh memegang satu nilai budaya yang telah diwariskan lintas generasi: tradisi belis. Sebuah pemberian dalam prosesi pernikahan yang bukan sekadar mahar, tetapi wujud penghormatan, pengakuan martabat, dan pengikat relasi antar keluarga besar. Di tangan para filsuf, terutama Martin Buber dengan konsep relasi “Aku-Engkau”, belis tampil sebagai cermin kebudayaan yang menandai kualitas hubungan manusia: antara pribadi dan komunitas, antara simbol dan spiritualitas.

Artikel ilmiah berjudul Budaya Belis dalam Perspektif Martin Buber: Relasi Aku-Engkau dalam Tradisi Suku Lamaholot, Flores Timur, NTT yang ditulis oleh Heribertus Ama Bugis, Mathias Jebaru Adon, F. X. Eko Armada Riyanto, dan Wenseslaus Jugan dari Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Widya Sasana Malang, memberikan refleksi mendalam atas makna belis dalam perspektif etis dan filosofis. Diterbitkan dalam Jurnal Adat dan Budaya, Vol. 7, No. 1 Tahun 2025 oleh Universitas Pendidikan Ganesha, kajian ini menempatkan belis bukan dalam ruang transaksi material, melainkan sebagai sarana menjalin hubungan personal yang autentik dan bermartabat.

Tradisi belis dalam masyarakat Lamaholot terdiri dari elemen-elemen simbolik: gading, kain tenun, dan hewan ternak, yang ditentukan melalui musyawarah antarkeluarga. Pemberian ini bukan harga atas seorang perempuan, melainkan bentuk penghormatan kepada keluarga mempelai wanita sekaligus penanda ikatan kekeluargaan baru yang akan lahir. Dalam struktur sosial Lamaholot, prosesi belis mencerminkan solidaritas dan partisipasi kolektif. Semua pihak hadir bukan sebagai pengamat, tetapi sebagai pelaku dalam upaya membangun jaringan sosial yang berakar kuat.

Namun seiring perkembangan zaman, makna simbolik itu terancam digerus. Belis kini kerap dibebani tuntutan nominal yang tinggi, menimbulkan ketegangan sosial bahkan menciptakan persepsi negatif, terutama dari generasi muda yang mulai melihat tradisi ini sebagai beban ketimbang kehormatan. Modernisasi dan nilai-nilai individualistik mempercepat gesekan antara adat dan gaya hidup kontemporer.

Inilah titik kritis yang menjadi perhatian utama penelitian ini. Dengan menggunakan metode studi pustaka dan pendekatan hermeneutik, para penulis berupaya menggali ulang nilai-nilai etis dari belis dalam terang filsafat Martin Buber. Konsep relasi “Aku-Engkau”—sebuah hubungan yang mengedepankan pengakuan terhadap martabat dan eksistensi orang lain—menjadi landasan utama untuk menilai apakah belis masih hidup sebagai ruang dialogis, atau telah berubah menjadi relasi “Aku-Itu” yang bersifat transaksional dan objektif.

Martin Buber dalam karya klasiknya I and Thou menyatakan bahwa relasi sejati terjadi ketika manusia tidak memperlakukan yang lain sebagai objek (“Itu”), melainkan sebagai subjek (“Engkau”). Dalam konteks belis, ketika keluarga mempelai pria memberikan gading atau tenun, dan keluarga wanita menerimanya, yang terjadi bukan sekadar transaksi barang, melainkan perjumpaan dua keluarga yang saling menghormati, mengakui keberadaan satu sama lain, dan menjalin ikatan sosial baru.

Relasi ini akan kehilangan substansinya jika belis direduksi menjadi angka dan kewajiban. Tradisi pun terancam menjadi semacam upacara kosong yang hanya menyisakan simbol, tanpa roh kebudayaan. Relasi yang semestinya “Aku-Engkau” terjebak dalam logika “Aku-Itu”: kalkulatif, objektif, dan pada akhirnya bisa menciptakan ketimpangan gender serta memunculkan konflik antar pihak.

Namun para peneliti tidak menyerah pada fatalisme. Mereka menawarkan pendekatan reinterpretatif—belis dapat tetap dipertahankan, bahkan diperkaya, melalui penyadaran nilai-nilai spiritual dan simboliknya. Belis bisa dimaknai ulang sebagai komitmen terhadap harmoni keluarga, bukan sebagai beban ekonomi. Dalam upaya ini, keluarga besar memainkan peran vital sebagai jembatan antar dua komunitas, sekaligus penjaga nilai solidaritas dalam masyarakat.

Tak banyak tradisi di Indonesia yang menjadikan gading sebagai belis tertinggi seperti dalam budaya Lamaholot. Gading di sini bukan sekadar barang mewah, melainkan lambang keabadian, martabat, dan warisan leluhur. Diturunkan dari generasi ke generasi, gading menjadi medium dialog antara masa lalu, kini, dan nanti. Kain tenun pun demikian—ditenun oleh tangan perempuan Lamaholot sebagai manifestasi kearifan, ketekunan, dan identitas.

Dalam pelaksanaannya, tradisi belis tidak berlangsung dalam isolasi. Ia menjadi ruang pertemuan spiritual dan sosial. Keluarga besar berkumpul, berdialog, menegosiasikan jumlah dan bentuk belis dalam suasana penuh makna. Prosesi ini menegaskan bahwa pernikahan dalam budaya Lamaholot adalah urusan komunitas, bukan hanya dua individu. Ada perasaan bersama, tanggung jawab kolektif, dan pengakuan yang melampaui individualitas.

Meski menghadapi tekanan modernitas, tradisi belis Lamaholot tetap memancarkan kekuatan sebagai simbol harmoni dan penghormatan. Dengan pendekatan reflektif dan dialogis, seperti yang ditawarkan oleh filsafat Buber, masyarakat dapat menjaga esensi belis sebagai warisan budaya yang bermartabat. Fleksibilitas dalam bentuk belis, dengan tetap menjaga nilai simboliknya, dapat menjadi jalan tengah yang memungkinkan tradisi ini tetap hidup dan bermakna.

Lebih dari itu, belis juga menjadi pengingat akan pentingnya merawat relasi manusiawi dalam dunia yang kian terfragmentasi. Di tengah dominasi relasi instrumental dan relasi transaksional dalam banyak aspek kehidupan modern, praktik belis mengajak kita untuk kembali pada akar: pada perjumpaan personal, pada kesadaran akan keberadaan orang lain, dan pada penghargaan terhadap martabat manusia yang tak ternilai oleh angka.

[UHD]
*Dapatkan berita pilihan terbaru setiap hari dari Dailykaltim.co. Informasi terbaru juga dapat dilihat dan diikuti di seluruh media sosial Dailykaltim.co termasuk Instagram, Facebook, X (twitter), Tiktok dan Youtube.

Exit mobile version