Dailykaltim.co – Sangatta, ibukota Kabupaten Kutai Timur di Kalimantan Timur, tak sekadar tumbuh sebagai wilayah administratif modern. Di balik nama-nama desanya, tersimpan warisan kebudayaan, memori sosial, hingga lanskap ekologis yang membentuk identitas masyarakatnya. Sebuah penelitian etnografi yang dilakukan oleh Nicholaus Manuturi Tambunan, Ahmad Mubarok, dan Ian Wahyuni dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Mulawarman mencoba menggali kembali akar-akar penamaan desa di dua kecamatan utama di kawasan ini: Sangatta Utara dan Sangatta Selatan.

Penelitian bertajuk “Toponimi Nama Desa di Kecamatan Sangatta Utara dan Sangatta Selatan Kabupaten Kutai Timur: Kajian Antropolinguistik” ini dipublikasikan dalam Jurnal Budaya Sastra, Seni dan Bahasa (JBSSB), Volume 9 Nomor 2, April 2025, dan telah terakreditasi Sinta 4. Para peneliti menelusuri penamaan delapan desa di kawasan tersebut melalui wawancara langsung dengan tokoh-tokoh lokal, dikombinasikan dengan studi pustaka dan pendekatan antropolinguistik.

Dalam kajian ini, penamaan desa dikelompokkan dalam tiga ranah utama: budaya, masyarakat, dan alam. Ranah kebudayaan mencakup cerita rakyat, mitos, serta simbol kepercayaan lokal yang mengendap dalam nama seperti Sangkima, Sangkima Lama, Teluk Lingga, hingga Sangatta sendiri. Misalnya, nama “Sangkima” berasal dari cerita tentang sosok makhluk halus penjaga sungai bernama Sang Kimah, yang diambil sebagai bentuk penghormatan atas izin tinggal. Cerita serupa juga ditemukan dalam penamaan “Teluk Lingga”, yang berasal dari kisah tragis seorang perempuan yang meninggal karena alat pertanian bernama lingga.

Sementara itu, penamaan yang mengandung muatan sosial—seperti “Singa Gembara” dan “Singa Geweh”—mengacu pada tokoh-tokoh adat besar dari Suku Kutai. Nama-nama ini diangkat untuk menghormati peran mereka dalam sejarah lokal dan juga sebagai penanda identitas sosial dalam struktur masyarakat multietnik Sangatta.

Adapun ranah toponimi yang berkaitan dengan lingkungan alam tercermin dalam nama-nama seperti “Swarga Bara”, yang secara langsung merefleksikan wilayah tambang batu bara dan hunian para pekerjanya. Kata “Swarga” diambil dari bahasa Sanskerta yang berarti “surga”, dipadukan dengan “bara” yang merujuk pada batu bara, menggambarkan tempat yang diidamkan bagi pencari kerja pada masa awal eksploitasi tambang oleh PT Kaltim Prima Coal (KPC).

Penelitian ini tidak hanya menghadirkan narasi asal-usul, tetapi juga memotret bagaimana masyarakat mempertahankan jejak identitas lewat bahasa. Sebagaimana disebut dalam laporan, masyarakat yang berpindah dari hulu Sungai Sangatta tetap membawa nama “Sangatta” ke pemukiman baru mereka. Hal ini menunjukkan bagaimana bahasa tidak hanya sebagai alat komunikasi, tetapi juga wahana pelestarian identitas budaya dan sejarah.

Dalam perspektif antropolinguistik, praktik penamaan ini juga memperlihatkan hubungan erat antara bahasa dan budaya: bagaimana tradisi, kepercayaan, serta interaksi manusia dengan alam dan sosial membentuk sistem makna dalam kehidupan sehari-hari. Nama-nama tempat bukanlah sesuatu yang netral; mereka menyimpan petunjuk tentang struktur nilai dan pengalaman kolektif masyarakat.

Penelitian ini memberi ruang bagi masyarakat lokal untuk mengenali kembali akar identitas mereka dan pentingnya dokumentasi budaya, terutama di tengah arus modernisasi dan perluasan wilayah yang kerap menggerus memori kolektif. Kajian semacam ini juga menjadi pengingat bahwa di balik setiap papan nama desa, ada kisah yang tak selesai diceritakan, dan warisan yang tak boleh dilupakan.

Exit mobile version