Dailykaltim.co – Mahasiswa tak hanya bergelut dengan mata kuliah dan nilai IPK. Di balik layar kelas daring maupun tatap muka, banyak dari mereka diam-diam memikul kelelahan akademik yang mendalam—sebuah kondisi yang dikenal sebagai academic burnout. Ini bukan sekadar rasa lelah biasa, melainkan sebuah kelelahan emosional, penurunan minat belajar, dan rasa tidak kompeten yang menghantui.

Sebuah studi komprehensif berjudul Factors Affecting Academic Burnout in College Students: Scoping Review, yang ditulis oleh Lauren David Rangga Wardhana, Nono Hery Yoenanto, dan Nur Ainy Fardhana dari Fakultas Psikologi Universitas Airlangga, menyisir berbagai faktor internal dan eksternal yang memengaruhi fenomena ini. Penelitian ini dipublikasikan dalam Psikoborneo: Jurnal Ilmiah Psikologi Volume 13, No. 2, Juni 2025, halaman 201–210, dengan DOI: 10.30872/psikoborneo.v13i2.18351.

Menggunakan metode scoping review berbasis PRISMA, penulis menganalisis 15 artikel internasional terbitan 2019–2024 dari database Scopus, ProQuest, dan Web of Science. Hasilnya menunjukkan bahwa academic burnout adalah masalah lintas negara dan lintas jenjang pendidikan, mulai dari mahasiswa S1 hingga program doktor.

Ditemukan dua kelompok besar penyebab burnout. Pertama, faktor internal seperti academic self-efficacy, motivasi belajar, dan kepribadian. Mahasiswa dengan rasa percaya diri yang tinggi terhadap kemampuannya lebih tahan menghadapi tekanan akademik. Penelitian Wasito dan Yoenanto (2021) menunjukkan bahwa self-efficacy berkontribusi sebesar 60% dalam mencegah burnout.

Kedua, faktor eksternal yang mencakup dukungan sosial, iklim kampus, aktivitas fisik, stres akademik, hingga status kesehatan dan kebiasaan hidup. Dalam konteks ini, kualitas dukungan dari lingkungan sekitar terbukti penting. Misalnya, Damara dan Chusairi (2023) menemukan bahwa dukungan sosial mampu menurunkan tingkat kelelahan akademik sebesar 28,7%. Begitu pula dengan iklim kampus yang positif, sebagaimana disebutkan dalam penelitian Yu et al. (2023), dapat menjadi pelindung terhadap burnout jika kampus menyediakan fasilitas yang memadai, pengajar yang suportif, dan suasana belajar yang kondusif.

Menariknya, satu studi di Kolombia menunjukkan bahwa aktivitas fisik rutin juga memiliki pengaruh signifikan terhadap penurunan kelelahan akademik mahasiswa (Arias-Ortiz & Ibáñez-Pinilla, 2023). Sementara itu, faktor-faktor demografis seperti jenis kelamin, tekanan hidup, serta kepuasan terhadap kehidupan kampus turut menambah kompleksitas.

Tak hanya merinci variabel, studi ini juga menekankan bahwa kelelahan akademik berdampak nyata: dari prestasi belajar yang menurun, hubungan sosial yang terganggu, hingga kecenderungan ingin putus kuliah atau bahkan melakukan tindakan ekstrem seperti bunuh diri. Tingginya prevalensi burnout ditemukan di berbagai tempat: dari Kenya, Arab Saudi, Iran, hingga Indonesia, dengan angka signifikan mahasiswa yang mengalami kelelahan tingkat sedang hingga berat.

Penelitian ini sekaligus menjadi peringatan sekaligus rujukan untuk langkah intervensi. Para peneliti menyarankan agar studi lanjutan bisa mengembangkan pendekatan kuantitatif maupun kualitatif guna memahami lebih jauh akar persoalan dan strategi pencegahannya. Rekomendasi juga diberikan agar kampus menciptakan ruang aman dan suportif bagi mahasiswa, termasuk menyediakan layanan kesehatan mental yang mudah diakses.

Dengan begitu, mahasiswa tidak hanya diukur dari IPK dan indeks prestasi semata, tetapi juga dari daya tahan mereka untuk tetap waras di tengah tekanan yang terus meningkat.

Exit mobile version