Dailykaltim.co – Di tengah formalitas kunjungan kenegaraan Presiden Prabowo Subianto ke Singapura, sebuah momen simbolik menarik perhatian. Pemerintah Singapura memberikan penghormatan lewat sebuah anggrek hibrida yang dinamai Paraphalaenopsis Dora Sigar Soemitro, nama yang diambil dari almarhumah ibunda Presiden Prabowo.

Upacara penamaan bunga itu dilakukan di National Orchid Garden, kawasan Singapore Botanic Gardens, sebagai bentuk penghormatan tinggi dalam tradisi diplomasi Singapura. Namun, makna dari gestur ini jauh melampaui seremonial biasa. Ia menjadi simbol persahabatan antarbangsa yang dibangun dengan kelembutan, bukan tekanan.

Tradisi “orchid diplomacy” telah lama dijalankan Singapura. Negara kota itu kerap menghadiahkan atau menamai anggrek baru untuk menghormati pemimpin dunia. Ini bukan sekadar sopan santun, melainkan bagian dari strategi soft power—konsep yang diperkenalkan ilmuwan politik Joseph S. Nye.

Dalam gagasan ini, kekuatan sebuah negara tidak hanya diukur dari ekonomi dan militernya, melainkan dari budaya, nilai, dan kemampuan menciptakan ketertarikan. Pemberian anggrek kepada pemimpin asing menjadi bentuk komunikasi nonverbal yang menyampaikan pesan persahabatan, kepercayaan, dan harapan untuk kerja sama yang lebih dalam.

Bagi Prabowo, pemberian anggrek itu bukan sekadar simbol. Ia menyebut penamaan Paraphalaenopsis Dora Sigar Soemitro sebagai bentuk kehormatan besar, menyentuh secara personal sekaligus nasional. Di hadapan media, ia bahkan menyatakan bahwa tradisi ini seharusnya bisa direplikasi oleh Indonesia sebagai bagian dari diplomasi budaya.

“Ini tradisi yang indah. Mungkin kita bisa lakukan hal yang sama,” ujarnya. Harapan itu bukan tanpa alasan. Indonesia dikenal sebagai negara dengan kekayaan anggrek terbesar di dunia—lebih dari 5.000 spesies tersebar dari Sumatra hingga Papua.

Anggrek memang bukan bunga biasa. Ia butuh kesabaran dan ketelatenan untuk tumbuh, dengan bentuk dan warna yang unik tergantung habitatnya. Karena itu, banyak negara menggunakannya sebagai lambang penghormatan, cinta, bahkan kekuatan nasional. Korea Utara misalnya, memiliki bunga Kimilsungia yang berasal dari anggrek hasil hibridasi dan diberikan oleh Presiden Sukarno kepada Kim Il Sung pada 1965. Hingga kini, bunga itu tetap menjadi simbol nasional yang sangat dijunjung tinggi oleh rakyat Korea Utara.

Dengan begitu, diplomasi anggrek bukan hal baru bagi Indonesia. Namun peristiwa di Singapura ini memberi sinyal bahwa pendekatan seperti itu bisa dihidupkan kembali, khususnya dalam konteks promosi budaya Indonesia yang begitu kaya. Jika Singapura bisa menjadikan anggrek sebagai alat diplomasi global, maka Indonesia yang notabene jauh lebih kaya secara biodiversitas tentu punya peluang lebih besar untuk menjadikan flora—khususnya anggrek—sebagai wajah lembut diplomasi kita di panggung dunia.

Namun tantangan besar tetap membayangi. Belum ada satu pun lembaga negara yang secara khusus memetakan, mengelola, dan mempromosikan potensi floristik ini dalam kerangka diplomasi kultural. Riset anggrek sebagian besar masih terbatas pada ranah akademik atau koleksi botani. Penamaan spesies anggrek pun masih banyak yang dilakukan oleh peneliti luar negeri. Jika tidak ada keseriusan institusional, peluang untuk memanfaatkan kekayaan ini sebagai kekuatan lunak diplomatik hanya akan berakhir sebagai wacana.

Sementara itu, pernyataan Prabowo membuka peluang baru. Momen simbolik di Singapura bisa menjadi pemicu lahirnya kebijakan baru—bahwa Indonesia tak sekadar membangun diplomasi lewat pidato dan nota kesepahaman, melainkan juga lewat bunga yang tumbuh di tanahnya sendiri. Anggrek bisa menjadi simbol baru Indonesia yang lembut, indah, tetapi penuh makna.

[PRD]

*Dapatkan berita pilihan terbaru setiap hari dari Dailykaltim.co. Informasi terbaru juga dapat dilihat dan diikuti di seluruh media sosial Dailykaltim.co termasuk Instagram, Facebook, X (twitter), Tiktok dan Youtube.

Exit mobile version