Dailykaltim.co – Dalam tiga tahun pertama pernikahan, sepasang suami istri biasanya tengah berlayar di perairan baru yang penuh ketidakpastian: mencoba memahami karakter masing-masing, menata ritme hidup bersama, dan mengelola berbagai tuntutan sosial maupun emosional.

Fase awal inilah yang sering kali menyulut friksi. Namun bagaimana jika salah satu pihak—dalam hal ini sang istri—tidak memiliki aktivitas di luar rumah seperti pekerjaan tetap? Apa strategi yang mereka miliki untuk bertahan menghadapi guncangan di titik-titik awal perkawinan?

Sebuah studi terkini dari Universitas Proklamasi 45 Yogyakarta mencoba menjawab persoalan tersebut dengan menyoroti ketangguhan atau resilience para istri yang tidak bekerja dalam menghadapi problematika pernikahan. Riset ini dimuat dalam jurnal Psikoborneo: Jurnal Ilmiah Psikologi Volume 13 Nomor 2, Juni 2025 dengan judul “Resilience Strategies Among Non-Working Wives in Dealing with Marital Problem (Phenomenon of Couples Early Phase Under 3 Years of Marriage)” karya Pin Gunita Sarasih, Dewi Handayani Harahap, dan Izzah Annisatur Rahma.

Menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif, penelitian ini menggali pengalaman dua istri yang tidak bekerja dan telah menikah kurang dari tiga tahun. Mereka bukan figur publik, melainkan perempuan biasa, dengan latar belakang sebagai istri prajurit militer di Yogyakarta, yang berjuang menjaga keharmonisan rumah tangga lewat cara mereka sendiri.

Menahan Diri, Menenangkan Emosi

Salah satu strategi kunci yang ditemukan adalah kemampuan mengelola emosi. Regulasi emosi menjadi gerbang pertama dalam menenangkan konflik. Salah satu responden memilih untuk diam dan menarik napas sebelum berbicara, sementara lainnya tidak segan mengekspresikan perasaan dengan cara berteriak—namun tetap dalam kendali.

Kedua strategi ini mengindikasikan kesadaran bahwa ledakan emosi yang tak terkontrol hanya memperkeruh masalah. Pendekatan serupa juga diamini oleh para suami mereka yang memilih diam dan menunggu momen yang tepat sebelum memulai dialog.

Sikap tersebut menegaskan bahwa resiliensi tidak selalu berarti pasif atau mengalah, tetapi justru menandakan kemampuan mengatur respons dalam tekanan. Hal ini senada dengan teori Reivich dan Shatte (2002) yang menyebutkan bahwa regulasi emosi dan pengendalian impuls adalah dua indikator utama resiliensi dalam hubungan interpersonal.

Ketangguhan dari Optimisme dan Efikasi Diri

Dua responden dalam studi ini menunjukkan keyakinan tinggi terhadap masa depan. Meski tak lagi bekerja, salah satu dari mereka mencoba usaha kecil-kecilan dan berkontribusi lewat kerja sama mengurus rumah tangga.

Sementara itu, kepercayaan terhadap kemampuan sendiri untuk menyelesaikan konflik juga mencuat. Mereka menenangkan diri lebih dulu sebelum membahas persoalan secara terbuka dengan pasangan.

Pendekatan semacam ini menggambarkan bahwa resiliensi tidak datang dari posisi kuat secara ekonomi, tetapi dari pola pikir yang adaptif. Menurut penelitian Putri & Rahmasari (2024), sikap optimis mampu menjaga stabilitas emosi pasangan muda dalam membangun rumah tangga.

Budaya dan Anak: Dua Faktor Penentu Dinamika

Penelitian ini juga menyoroti dua faktor lain yang kerap menjadi tantangan tersendiri: perbedaan budaya dan kehadiran anak. Salah satu subjek berasal dari budaya Jawa dan menikah dengan pria dari Sulawesi, yang menimbulkan gesekan dalam gaya komunikasi dan ekspektasi. Namun pendekatan terbuka dalam komunikasi serta kesediaan menurunkan ego terbukti menjadi solusi yang ampuh.

Sementara kehadiran anak menjadi ambivalen. Bagi sebagian pasangan, anak bisa menjadi pemersatu sekaligus pemicu konflik. Kelelahan fisik dan tekanan ekonomi akibat peran ganda membuat komunikasi menjadi taruhan besar. Dalam kondisi ini, dukungan emosional dari pasangan menjadi penting. Subjek dalam penelitian ini justru melihat anak sebagai sumber motivasi untuk tetap semangat menjaga hubungan.

Komunikasi: Titik Tengah Semua Jalan

Hampir seluruh strategi resiliensi yang ditemukan bersandar pada satu kata kunci: komunikasi. Baik ketika suasana sedang memanas maupun dalam upaya menyelesaikan konflik, keterbukaan dan dialog yang jujur menjadi penopang utama. Bahkan ketika latar belakang budaya, kondisi ekonomi, atau emosi negatif hadir, komunikasi terbukti menjadi jembatan.

Penelitian ini juga mempertegas bahwa komunikasi bukan sekadar menyampaikan isi hati, melainkan membangun rasa saling percaya, memahami konteks, serta mendengarkan secara aktif. Dengan pendekatan itu, para istri yang tidak bekerja tetap bisa berdaya dan menjaga kualitas relasi mereka, tanpa perlu mendominasi ruang publik.

Studi ini menggarisbawahi pentingnya resiliensi psikologis dalam menjaga pernikahan, khususnya di fase awal yang rentan. Strategi seperti pengendalian emosi, optimisme, empati, dan komunikasi terbuka menjadi fondasi utama.

Meski jumlah responden terbatas, temuan ini membuka ruang diskusi tentang bagaimana dukungan sosial, dinamika budaya, dan pola asuh anak dapat dikelola dengan baik melalui kekuatan dari dalam diri pasangan, terutama istri yang tidak bekerja.

Penelitian ini bukan sekadar membicarakan hubungan suami-istri, melainkan merefleksikan realitas psikososial banyak perempuan Indonesia. Di tengah tekanan ekonomi dan ekspektasi budaya, resiliensi menjadi modal penting untuk merawat kebersamaan yang hangat, meski dalam diam.

Exit mobile version