Dailykaltim.co – Setiap bulan Suro, di tengah kesunyian Keraton Yogyakarta, udara berubah menjadi sakral. Di balik pintu-pintu tebal Bangsal Prabayeksa, suara lirih doa bergema bersama aroma kemenyan yang mengepul. Di ruang itu, para abdi dalem memulai prosesi jamasan pusaka—ritual pencucian benda-benda keraton yang telah diwariskan sejak berabad-abad lalu. Namun di balik ritual yang tampak sederhana ini, tersimpan filosofi mendalam tentang penghormatan, spiritualitas, dan kesinambungan budaya Jawa yang tak lekang oleh zaman.
Penelitian berjudul “Analisis Prosesi Kebudayaan Tradisi Jamasan, Pencucian Pusaka Milik Keraton” yang diterbitkan dalam Jurnal Budaya Fakultas Ilmu Budaya Universitas Brawijaya, Vol. 5 No. 2, Januari 2024, hlm. 70–75 oleh Aisha Sabrina Salsabila, Galang Prastowo, dan Futya Rakhmani mengurai lapisan makna dari ritual tersebut. Studi ini tidak hanya menggambarkan urutan upacara, tetapi juga menafsirkan nilai psikologis dan spiritual yang hidup di dalamnya—bagaimana jamasan bukan sekadar kegiatan merawat benda, melainkan upaya memelihara kesadaran kolektif tentang warisan dan identitas.
Dalam pandangan para peneliti, jamasan tidak dapat dilepaskan dari akar kebudayaan Jawa yang berorientasi pada harmoni dan keseimbangan antara dunia nyata dan spiritual. Istilah jamasan, yang berarti memandikan atau membersihkan, telah lama dipraktikkan sebagai bentuk penghormatan terhadap pusaka dan leluhur. Pusaka dalam konteks ini bukan sekadar benda—keris, tombak, atau kereta kencana—tetapi simbol kekuatan moral dan spiritual yang diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Menurut penelitian tersebut, prosesi jamasan diselenggarakan setiap tahun di bulan Suro, bertepatan dengan perhitungan kalender Jawa yang identik dengan kesucian dan perenungan. Sebelum pencucian dilakukan, para abdi dalem menjalani ritual penyucian diri dan memanjatkan doa dalam upacara Sugengan Ageng, memohon agar prosesi berjalan lancar. Hanya orang-orang tertentu yang diizinkan hadir, menjaga kesakralan agar tidak ternodai oleh pandangan luar.
Makna jamasan kemudian berkembang lebih jauh dari sekadar aktivitas kebudayaan. Ia menjadi simbol kesadaran spiritual kolektif—bahwa dalam menjaga benda peninggalan, manusia sesungguhnya sedang menjaga dirinya sendiri, membersihkan batin dari debu keserakahan dan lupa asal.
Penelitian yang dimuat dalam Jurnal Budaya FIB UB (2024) menjelaskan secara rinci bahan dan tahapan jamasan. Air bunga yang digunakan bukan sekadar alat pembersih, melainkan media simbolik penyucian jiwa. Lima jenis bunga—mawar putih, melati, kenanga, mawar merah, dan kanthil—dipilih karena aroma dan maknanya melambangkan kesucian, ketenangan, dan cinta kasih. Jeruk nipis digunakan untuk mengikis karat, sedangkan minyak wangi menjadi penanda bahwa ritual ini bukan hanya membersihkan benda, tetapi juga menghidupkan kembali ingatan spiritual yang melekat di dalamnya.
Proses pencucian dimulai dengan pembakaran kemenyan dan pembacaan doa, dilanjutkan dengan perendaman pusaka dalam air bunga, pengeringan dengan kain mori, lalu pengolesan jeruk nipis dan minyak wangi. Setiap langkahnya dilakukan perlahan dan penuh penghayatan. Setelah selesai, pusaka dikembalikan ke warangka—sarung kayu—lalu disimpan di atas meja untuk menghindari kelembapan.
Ritual ini bukan semata tindakan fisik, melainkan praktik meditasi dalam bentuk tradisi. Melalui gerak tangan yang lembut dan doa yang diucapkan lirih, para pelaku jamasan menghidupkan kembali nilai-nilai luhur: kesabaran, penghormatan, dan pengendalian diri. Nilai-nilai ini, seperti diuraikan para peneliti, merupakan esensi pendidikan spiritual Jawa yang diajarkan melalui praktik, bukan dogma.
Penelitian ini juga menelusuri akar historis jamasan hingga ke masa Majapahit, ketika ritual serupa dilakukan untuk merawat senjata kerajaan. Namun di tangan budaya Jawa modern, jamasan bukan lagi soal kekuasaan, melainkan kesadaran untuk merawat warisan dan nilai-nilai moral yang menyertainya.
Keris, misalnya, yang dahulu menjadi senjata, kini beralih fungsi menjadi simbol kehormatan dan spiritualitas. Tombak Kyai Upas yang disimpan di keraton bahkan diyakini memiliki kekuatan pelindung, bukan karena magisnya, melainkan karena nilai sejarah dan doa yang melekat di setiap prosesi perawatannya. Begitu pula kereta Kanjeng Nyai Jimat, peninggalan paling tua di Keraton Yogyakarta, yang tetap dirawat dengan penuh penghormatan karena diyakini membawa keselamatan bagi sultan dan rakyatnya.
Bagi masyarakat Jawa, benda-benda ini bukan artefak, melainkan penjaga keseimbangan spiritual. Setiap tahun, jamasan mengingatkan bahwa menjaga tradisi bukan sekadar melestarikan bentuk, tetapi juga merawat makna di dalamnya.
Apa yang tampak sebagai ritual masa lalu ternyata justru menawarkan pelajaran berharga bagi manusia modern. Di tengah kehidupan yang semakin tergesa dan berjarak dari akar spiritualnya, jamasan menghadirkan ruang sunyi di mana manusia bisa menunduk dan kembali mengenali dirinya.
Tradisi ini, sebagaimana diungkap dalam penelitian Jurnal Budaya FIB UB (Vol. 5, No. 2, 2024), mengandung nilai-nilai pendidikan Islam seperti tauhid, ibadah, dan akhlak sosial yang berpadu harmonis dengan kearifan lokal Jawa. Ia mengajarkan keseimbangan antara menghormati leluhur dan mensyukuri kehidupan masa kini. Di sinilah jamasan menemukan relevansinya: bukan hanya ritual yang diwariskan, tetapi juga bahasa spiritual yang terus hidup dalam tubuh kebudayaan.
Dalam penutup studinya, para peneliti menegaskan bahwa jamasan bukan sekadar pencucian benda, melainkan penyucian nilai dan kesadaran. Ia adalah simbol dari penghormatan manusia terhadap warisan leluhur, sekaligus pengingat agar tidak terputus dari akar budaya sendiri.
Ketika air bunga mengalir di permukaan pusaka, sesungguhnya yang sedang dibersihkan adalah ingatan—tentang kebijaksanaan, ketekunan, dan rasa syukur. Dalam kesunyian ritual itu, masyarakat Jawa kembali menemukan dirinya: bahwa hidup, sebagaimana pusaka, perlu dirawat dengan doa dan ketulusan.
[UHD]
*Dapatkan berita pilihan terbaru setiap hari dari Dailykaltim.co. Informasi terbaru juga dapat dilihat dan diikuti di seluruh media sosial Dailykaltim.co termasuk Instagram, Facebook, X (twitter), Tiktok dan Youtube.
