Dailykaltim.co – Di tengah derap modernisasi yang kian menggulung warisan budaya, Desa Siniyung di Kecamatan Dumoga, Bolaang Mongondow, masih teguh menjaga sebuah ritual yang bagi banyak desa lain telah lama lenyap: Monibi. Bagi masyarakat Siniyung, Monibi bukan sekadar upacara adat, melainkan jembatan antara dunia manusia dan alam leluhur, sarana menolak bala, memohon perlindungan, meminta rezeki, dan mengungkapkan rasa syukur kepada Ompu Duata—Tuhan yang diyakini memayungi kehidupan mereka.

Tradisi ini berpijak pada pandangan kosmologis orang Mongondow bahwa alam semesta terbagi atas dua wilayah: Popintuan (wilayah atas) yang menjadi tempat arwah leluhur, dan Buta (wilayah bawah) yang ditempati manusia. Ketika bencana, penyakit, atau hasil panen yang buruk melanda, diyakini itu pertanda gangguan dari Mangkubi, roh jahat yang harus diusir dengan bantuan leluhur. Melalui Monibi, para leluhur dipanggil turun ke dunia manusia lewat tangga sakral (tagaoundouw) di ruang meditasi.

Jurnal Paradigma: Jurnal Kajian Budaya Volume 15 Nomor 1 (April 2025) karya Rivo Ronaldo R. Inkiriwang dan Tony Tampake dari Fakultas Teologi Universitas Kristen Satya Wacana menegaskan bahwa Monibi di Siniyung merupakan satu-satunya praktik serupa yang masih bertahan di seluruh Bolaang Mongondow. Penulis mengulasnya sebagai “performatif realitas sosial” dalam kerangka teori David Salomon—ritual yang tidak hanya memelihara relasi sosial, tetapi juga memberi makna kolektif pada perjalanan hidup masyarakat.

Prosesi Monibi dilakukan sekali setahun, biasanya pada bulan Maret yang dianggap sakral. Diawali molintak—puji-pujian kepada Ompu Duata dan leluhur di hadapan kurban berupa daging babi hutan, ayam, kelapa muda, serta rempah dan akar hutan—ritual ini berlanjut dengan makan bersama, simbol solidaritas kolektif yang mengikat seluruh warga. Bagian penutupnya adalah pelepasan perahu-perahu kecil berisi ramuan obat ke Sungai Ongkak. Perahu itu menjadi metafora pelepasan penyakit, malapetaka, dan niatan buruk yang mengancam desa.

Sejarah Monibi merentang jauh ke masa ketika raja-raja Mongondow masih berkuasa. Dalam catatan etnografi W. Dunnebier (1948) dan M.W\.M. Hekker (1991), ritual ini dipraktikkan untuk “mengobati desa” dari kemalangan. Di masa lalu, setiap kampung memiliki Sigi sebagai pusat pemujaan dan persembahan kepada Ompu Duata. Monibi memadukan fungsi tersebut dengan prosesi kolektif, mengikat warga dalam ikatan magis dan sosial.

Bagi warga Siniyung, Monibi bukan hanya tradisi, tapi bukti nyata perlindungan leluhur. Sejumlah kisah lokal menyebut desa mereka pernah luput dari serangan desa lain—konon para penyerang hanya menemukan hutan belantara di tempat Siniyung berdiri. Bahkan, saat pandemi COVID-19 melanda pada 2020, warga percaya tak satu pun dari mereka terinfeksi berkat Monibi yang digelar tepat sebelum wabah merebak.

Namun, di luar Siniyung, Monibi telah lama ditinggalkan. Sebagian masyarakat Mongondow menganggap ritual ini sebagai “perbuatan kafir” atau takhayul, sejalan dengan menguatnya pandangan agama kitab dan minimnya literatur sejarah lokal. Inkiriwang dan Tampake mencatat tiga faktor utama degradasi budaya ini: kurangnya dokumentasi, kekhawatiran generasi tua terhadap stigma agama, dan pandangan bahwa mitos adalah dongeng tak berguna.

Monibi, dalam perspektif performatif sosial, mengundang seluruh warga untuk hadir dalam satu ruang simbolik: tempat mereka menyadari posisi sebagai bagian dari komunitas, menghidupkan memori leluhur, dan meneguhkan harmoni sosial. Ia adalah peristiwa yang mengikat individu dan kelompok, menempatkan kehidupan sehari-hari dalam lanskap sakral, dan memberi makna pada siklus waktu—dari kelahiran hingga kematian.

Monibi adalah kisah tentang daya tahan sebuah tradisi di tengah benturan modernitas, agama, dan globalisasi. Ia adalah bentuk “perlawanan kultural” terhadap ketercerabutan identitas, sekaligus cermin bahwa ritual dapat menjadi strategi sosial menjaga stabilitas desa.

Selama Siniyung masih menggelar Monibi, selama itu pula jejak sakral leluhur tetap berpijak di tanah Mongondow—menjadi benteng tak kasatmata yang menegakkan harmoni, dari tepian Sungai Ongkak hingga ruang batin setiap warganya.

[UHD]
*Dapatkan berita pilihan terbaru setiap hari dari Dailykaltim.co. Informasi terbaru juga dapat dilihat dan diikuti di seluruh media sosial Dailykaltim.co termasuk Instagram, Facebook, X (twitter), Tiktok dan Youtube.

Exit mobile version