Dailykaltim.co – Di ruang publik modern, penampilan tidak lagi sekadar kulit luar—ia menjadi bahasa sosial yang berbicara lebih cepat dari kata-kata. Setelan jas rapi, jam mewah, atau sebaliknya kaos-jeans dan sandal gunung, segera membentuk kesan awal tentang siapa kita. Fashion, dalam lanskap ini, bukan hanya fungsi penutup tubuh; ia menjelma menjadi medium komunikasi identitas, pintu masuk yang memengaruhi cara kita dipandang, diundang, dan diakui.
Sebuah kajian klasik yang relevansinya justru kian menajam hari-hari ini, “Fashion dan Gaya Hidup: Identitas dan Komunikasi”, menelusuri bagaimana industri budaya—dari mall, media, hingga iklan—membentuk selera, nilai, dan aspirasi kelas menengah. Riset ini menunjukkan bahwa globalisasi ekonomi dan industri media telah mengangkat gaya hidup menjadi rujukan sosial: apa yang dianggap up to date atau out of date, pantas atau tidak, mapan atau santai. Kapitalisme, menurut kajian ini, bahkan menyusup hingga simbol-simbol keagamaan, melakukan komodifikasi terhadap tanda-tanda religius, dan menawarkan narasi “saleh namun tetap trendi”.
Penelitian yang dilakukan di lingkungan Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP UPN “Veteran” Yogyakarta itu memetakan dua arus besar. Pertama, industri penampilan yang kian agresif: fashion, kecantikan, real estat, kuliner, hiburan, hingga industri nasihat tumbuh sebagai perangkat pembentuk gaya hidup. Kedua, industri media dan periklanan yang bukan hanya menyebarluaskan citra, tetapi menanamkan standar estetika dan etika tubuh—sering tanpa disadari. Pada akhirnya, kita hidup dalam ekosistem di mana kulit kerap menaklukkan isi; gaya mendahului substansi.
Di lapangan, gejalanya kasatmata. Pusat perbelanjaan bertransformasi menjadi panggung sosial tempat “melihat dan dilihat”. Rubrik fashion di media, tayangan televisi, sampai iklan yang repetitif, memupuk budaya citra dan selera. Para figur publik—politisi, artis, influencer—mengelola tampilan mereka dengan presisi, memanipulasi “permukaan” demi dukungan. Dalam terminologi sosiologi budaya, inilah masyarakat tontonan: semua orang ingin menonton sekaligus ditonton, dan gaya menjadi modus eksistensi. “Kamu bergaya maka kamu ada.”
Kajian ini menautkan temuan lapangan dengan perangkat teori yang kokoh. Erving Goffman memandang kehidupan sosial sebagai panggung—presentasi diri adalah pertunjukan yang diritualkan. Mike Featherstone dan David Chaney menempatkan gaya hidup sebagai penanda sikap, nilai, dan posisi sosial; permukaan menjadi arena penting di mana identitas dinegosiasikan. Jean Baudrillard dan Guy Debord mengingatkan bahwa banjir tanda dan citra memudarkan batas privat-publik, melahirkan pseudo-realitas yang menstandarkan cara berpenampilan dan berperilaku. Marshall McLuhan menyebut iklan sebagai “karya seni terbesar abad ke-20”; Sut Jhally menunjukkan bagaimana citraan komersial mengkoloni budaya populer dan membentuk identitas konsumen. Daniel Boorstin dan Thomas C. O’Guinn menegaskan dominasi selebriti sebagai mesin inspirasi sekaligus produksi identitas—sebuah “pahlawan citra” yang dipromosikan tanpa lelah.
Efeknya merembes ke tubuh. Konstruksi “tubuh ideal” melintasi gender: perempuan dibayangi standar langsing yang tak bertepi; laki-laki digiring pada body anxiety dan new man yang menjadikan tubuhnya obyek tontonan. Industri kebugaran, diet, operasi plastik, kosmetika, hingga “produk For Men” merebak sebagai solusi cepat. Bahkan kebiasaan sederhana—seperti senyum—diposisikan sebagai modal simbolik dalam profesi layanan dan hiburan. Di sisi lain, geliat gaya hidup “alternatif”—kembali ke alam, spiritualisme baru—sering ikut terjerat pasar: wisata religius, kafe muslim, exclusive moslem fashion, hingga peragaan busana Islami tumbuh bersisian dengan logika komodifikasi. Narasi “ibadah yes, gaul yes” merekatkan kesalehan dengan gaya, menandai betapa lincahnya kapital merangkul sensibilitas keagamaan.
Media berperan sebagai akselerator. Dalam kompetisi waktu tayang dan belanja iklan, jurnalisme gaya hidup dan jurnalisme selebriti meluas. Prestasi ilmuwan atau pendidik kalah pamor dari sensasi figur populer; “nama besar” menjadi magnet pemberitaan. Siklus pengkultusan—menciptakan bintang lalu menggantinya—menyerupai ritme fashion itu sendiri. Sementara itu, majalah remaja dan kanal musik populer menanamkan fantasi waktu luang yang serbaproduktif dalam makna kesenangan: get fun, be smarter, richer, sexier. Seiring itu, konsumen “diajari membaca” pesan-pesan komersial—bukan sekadar memahami produk, melainkan menginternalisasi gaya hidup yang menyertainya.
Apa yang tampak di Indonesia menggambarkan momentum kelas menengah yang menguat. Mall, sekolah mahal, merek asing, fast food, gawai, wisata luar negeri, dan real estat menjadi tanda status. Di tengah arus ini, preferensi sosial bergeser diam-diam, menggantikan nilai lama dengan kompas citra dan rasa yang diproduksi industri. Penggemar meniru selebriti: dari potongan rambut sampai pola konsumsi. Tubuh menjadi proyek; penampilan, investasi; gaya hidup, tiket akses ke jejaring sosial dan kesempatan ekonomi.
Bukan berarti semua orang pasif di hadapan gempuran citra. Ada ruang resistensi—pilihan sadar untuk memilah, mengelola waktu layar, menafsir ulang simbol, atau mempraktikkan kesederhanaan yang berdaya. Namun riset ini mengingatkan: tanpa literasi media dan literasi gaya hidup, kita mudah terjerembap pada “ilusi permukaan” yang menukar dialog gagasan dengan parade tampilan. Tantangannya adalah mengembalikan proporsi—menempatkan gaya sebagai ekspresi, bukan penentu nilai; menjadikan konsumsi sebagai sarana, bukan tujuan.
Dalam praktik kebijakan dan pendidikan, implikasinya jelas. Pertama, program literasi media perlu menyeberang dari kelas ke ruang-ruang komunitas, mengajarkan cara membaca iklan, membongkar strategi influencing, dan memeriksa ulang standar tubuh-ideal. Kedua, intervensi berbasis kesehatan publik harus sensitif gender—mengatasi body anxiety dan gangguan citra tubuh pada remaja laki-laki maupun perempuan. Ketiga, lembaga keagamaan dan budaya dapat memperkuat tafsir kritis atas komodifikasi simbol—agar spiritualitas tak direduksi menjadi aksesoris. Keempat, pelaku industri didorong menjalankan pemasaran yang bertanggung jawab, menghindari glorifikasi berlebihan atas standar kecantikan yang sempit.
[UHD]
*Dapatkan berita pilihan terbaru setiap hari dari Dailykaltim.co. Informasi terbaru juga dapat dilihat dan diikuti di seluruh media sosial Dailykaltim.co termasuk Instagram, Facebook, X (twitter), Tiktok dan Youtube.