Dailykaltim.co – Di tengah hiruk-pikuk festival budaya yang semakin menjadi komoditas pariwisata, suara-suara magis dari tanah Paser kembali menemukan ruang suci mereka. Di Kabupaten Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, Pesta Adat Belian Paser Nondoi tak sekadar perayaan warisan leluhur, tetapi panggung tempat mantra kembali berdendang—besoyong, nyanyian sakral yang lahir dari hutan, kini mengisi ruang publik dengan khidmat dan estetika spiritual.

Besoyong berasal dari kata soyong, berarti mantra atau doa dalam bahasa Paser. Ia bukan sekadar tradisi lisan; ia adalah suara yang menyampaikan niat, harapan, dan dialog dengan dunia tak kasatmata. Dalam masyarakat Paser yang sejak lama hidup berdampingan dengan alam dan roh penjaganya, besoyong merupakan alat komunikasi dengan Sangiyang—roh leluhur dan makhluk gaib yang diyakini menjaga keseimbangan alam.

Dalam penelitian yang berjudul “Besoyong Dalam Pesta Adat Belian Paser Nondoi di Kabupaten Penajam Paser Utara Kalimantan Timur” (Kristanti, 2017, Institut Seni Indonesia Yogyakarta), Retno Kristanti menegaskan bahwa kehadiran besoyong dalam Pesta Adat Belian Paser Nondoi bukan hanya bentuk pelestarian budaya, tetapi sekaligus respons terhadap dinamika sosial, ekonomi, dan spiritual masyarakat Paser. Penelitian ini mengacu pada teori Alvin Boskoff tentang faktor internal dan eksternal perubahan sosial, dan mengklasifikasikan keberadaan besoyong ke dalam dua dimensi tersebut: sebagai ekspresi kepercayaan spiritual dan identitas budaya, sekaligus sebagai strategi memperkuat ekonomi dan pariwisata daerah.

Dalam praktiknya, besoyong tidak dapat dilantunkan sembarangan. Hanya orang-orang tertentu—seperti mulung, pemimpin upacara adat—yang dapat melafalkan mantra tersebut dengan fasih dan penuh kesadaran. Ini bukan hanya persoalan vokal, melainkan soal kedalaman batin dan pemahaman terhadap isi mantra yang dilantunkan.

Besoyong dilantunkan dalam dua bentuk penyajian: secara mandiri dan bersama ansambel musik tradisional yang dikenal dengan tung petep. Dalam penyajian mandiri, suara mulung menjadi pusat: melantunkan bait-bait sakral untuk mengusir roh jahat, menjaga cuaca, dan memohon keberkahan. Salah satu bait yang diteliti menggunakan tangga nada Do-Re-Mi-Sol-La menyiratkan bahwa meski bersifat ritualistik, besoyong mengandung struktur musikal yang kaya.

Ketika dilantunkan bersama ansambel, besoyong bersatu dengan suara kelentangen (instrumen idiophone berbahan logam), tino, penengkah, lumba, Perjumpaan Roheng (instrumen membranophone dari kulit kijang dan kayu). Gabungan ini menciptakan lanskap suara yang memikat dan sakral, membentuk atmosfer transenden bagi peserta festival maupun pengunjung luar.

Pesta Adat Belian Paser Nondoi yang digelar rutin sejak 2014 menjadi momentum penting bagi masyarakat Paser untuk menampilkan kembali besoyong ke ruang publik. Jika dahulu besoyong hanya dilantunkan dalam ritual keluarga atau ruang tertutup, kini ia menjadi magnet kultural yang membuka dialog antara masyarakat lokal dan pendatang.

Motif spiritual dan magis tetap menjadi landasan utama kehadiran besoyong. Namun di sisi lain, faktor eksternal seperti dorongan ekonomi kreatif dan promosi pariwisata turut memberi energi baru. Pesta Adat ini telah masuk dalam payung hukum Peraturan Daerah Kabupaten Penajam Paser Utara No. 2 Tahun 2017 tentang Pelestarian dan Perlindungan Adat Paser. Dalam pasal 4 ayat 2d, pemerintah mendukung penuh penyelenggaraan tahunan Pesta Adat Nondoi sebagai upaya pelestarian.

Dampaknya terasa di lapangan. Lapangan Pasar Induk Penajam Km 04, tempat acara berlangsung, berubah menjadi ruang kultural terbuka: panggung hiburan, stan kuliner, kerajinan tangan, lomba-lomba tradisional, hingga area ritual (kuta) yang terbuka untuk publik. Festival ini bukan saja menjadi ruang pertunjukan, tetapi juga arena negosiasi antara nilai lama dan wacana modern.

Di tengah arus modernisasi yang sering mereduksi kebudayaan menjadi hiburan dangkal, kehadiran besoyong dalam Pesta Adat Belian Paser Nondoi memberi napas baru bagi upaya pelestarian kultural berbasis nilai. Ia bukan sekadar pertunjukan atau tontonan eksotis. Ia adalah pernyataan identitas, media penyembuhan, sekaligus pelindung ruang publik dari intervensi yang tidak terlihat.

Seperti yang dikemukakan Kristanti dalam kesimpulan penelitiannya, “Besoyong memungkinkan terpeliharanya hubungan antara pengunjung, masyarakat setempat, dan penduduk selama Pesta Adat Belian Paser Nondoi berlangsung.” Ini adalah ruang spiritual sekaligus sosial, tempat suara tidak hanya menjadi medium komunikasi, tetapi juga representasi dari eksistensi kolektif.

Dalam konteks ini, besoyong bukan sekadar artefak kebudayaan. Ia adalah suara hidup yang menjembatani manusia dengan alam, tradisi dengan modernitas, lokalitas dengan dunia luar. Dan selama ia masih dilantunkan dengan kesadaran penuh, maka selama itu pula suku Paser tetap berbicara kepada dunia: dengan mantra, dengan nyanyian, dan dengan semangat untuk terus hidup dalam tradisi.

[UHD]
*Dapatkan berita pilihan terbaru setiap hari dari Dailykaltim.co. Informasi terbaru juga dapat dilihat dan diikuti di seluruh media sosial Dailykaltim.co termasuk Instagram, Facebook, X (twitter), Tiktok dan Youtube.

Exit mobile version