Dailykaltim.co, Penajam – Ketika perpustakaan hanya dipandang sebagai tempat sunyi berisi buku-buku yang berdebu, maka fungsinya akan segera digerus zaman. Tapi bagi Sekretaris Dinas Perpustakaan dan Arsip (Dispusip) Penajam Paser Utara (PPU), Aswar Bakri, perpustakaan justru sedang berada di simpul perubahan: dari ruang baca menjadi ruang hidup.

Perpustakaan hari ini, katanya, bukan lagi sekadar urusan membaca, tapi bagaimana pengetahuan bisa dipraktikkan.

“Sejak tahun 2018, saya cerita pertanyaan ini saya jawab berdasarkan realitas sosial yang ada di PPU terutama di kami (Dispusip PPU),” ujar Aswar saat ditanya sejauh mana keberhasilan perpustakaan dalam membentuk budaya literasi masyarakat.

Ia mengacu pada tonggak perubahan bernama Transformasi Perpustakaan Berbasis Inklusi Sosial atau TPBIS—sebuah pendekatan baru yang diluncurkan secara nasional dan mulai diterapkan di PPU sejak 2018. Transformasi ini menandai pergeseran besar dalam paradigma literasi: dari literasi sebagai aktivitas membaca menjadi literasi sebagai bagian dari pemberdayaan sosial dan ekonomi.

“Sejak tahun 2018 itu kita mengenal namanya, diistilahkan secara bebas, TPBIS—Transformasi Perpustakaan Berbasis Inklusi Sosial,” jelasnya.

Aswar menyebut, TPBIS bukan sekadar nama program, tapi pendekatan filosofis yang memaknai ulang apa itu literasi. Jika selama ini literasi didefinisikan sempit hanya sebagai keterampilan membaca dan menulis, maka TPBIS membawanya ke ranah yang lebih aplikatif—yakni keterampilan hidup.

“Jadi itu tadi kalau kita bicara filosofisnya, itu bukan hanya membaca, memahami, menafsirkan, tapi masuk ke dunia keterampilan. Itu literasi juga,” tegasnya.

Ia lalu mencontohkan praktik nyata yang sudah berjalan selama lima tahun terakhir. Dispusip PPU tidak hanya mendirikan rak buku di tengah kampung, tapi juga menyesuaikannya dengan potensi lokal. 

Di wilayah pesisir, misalnya, literasi hadir dalam bentuk pelatihan membuat olahan ikan atau pakan berbasis laut. Buku tetap ada, tapi bukan sebagai satu-satunya medium belajar—perpustakaan justru menjelma menjadi fasilitator keterampilan.

“Nah, transformasi berbasis inklusi sosial ini memotret di masyarakat. Misalnya saya contohkan di wilayah pesisir, di situ potensinya laut, katakanlah ikan. Seperti apa? Dinas Perpustakaan muncul berperan di situ,” ucap Aswar.

“Ya kita latih dia bagaimana menggunakan potensi yang ada itu. Misalnya bikin pakan, bikin makanan-makanan seafood, itu jalan dengan kami,” tambahnya.

Tidak hanya di sektor perikanan. Di tempat lain, perpustakaan bekerja sama dengan komunitas ibu rumah tangga, mendengarkan aspirasi mereka, lalu menghadirkan pelatihan-pelatihan sederhana namun berdaya guna—misalnya merangkai bunga plastik untuk kebutuhan dekorasi, bahkan dijual kembali secara daring. Literasi, dalam konteks ini, menjadi jalan menuju kemandirian ekonomi warga.

“Atau ibu-ibu, kita bikin ada aspirasi ingin merangkai bunga, kita carikan orang yang bisa mengajar merangkai bunga jadi nilai ekonomis,” ujar Aswar.

Semua ini, kata dia, adalah bagian dari upaya menggeser pemahaman publik soal literasi. Bahwa membaca itu penting, tetapi tidak cukup. Literasi yang utuh adalah ketika pemahaman dari bacaan mampu diterjemahkan ke dalam tindakan nyata—menjadi keterampilan, inovasi, bahkan penghasilan.

“Itu sudah berjalan sekian lama di kami. Bagaimana meningkatkan keterampilan masyarakat itu menjadi bagian dari literasi juga,” katanya.

“Jadi memahami literasi juga tidak hanya sekadar membaca ya. Membaca itu hanya bagian—bagian dari literasi dalam arti sempit,” lanjutnya.

[RRI | ADV DISKOMINFO PPU]

*Dapatkan berita pilihan terbaru setiap hari dari Dailykaltim.co. Informasi terbaru juga dapat dilihat dan diikuti di seluruh media sosial Dailykaltim.co termasuk Instagram, Facebook, X (twitter), Tiktok dan Youtube.

Exit mobile version