Dailykaltim.co, Penajam – Bagi Sekretaris Dinas Perpustakaan dan Arsip (Dispusip) Penajam Paser Utara (PPU), Aswar Bakri, literasi tak sekadar perkara teknis. Di balik aktivitas membaca yang tampak sederhana, menurutnya, tersimpan kedalaman filosofis yang tak banyak disadari. Membaca bukan hanya soal mengeja huruf, tapi juga soal menafsirkan dunia.
“Ada namanya daya baca. Daya baca itu kemampuan untuk memahami, menafsirkan, dan mengevaluasi secara kritis teksnya. Akhirnya jadi kebiasaan. Kebiasaan itu meningkat jadi kultur, menjadi budaya,” ujar Aswar.
Ia menyebut, ketika daya baca seseorang berkembang, maka membaca tak lagi menjadi aktivitas yang dipaksakan. Justru sebaliknya, membaca akan terasa sebagai kebutuhan. Seperti halnya rasa lapar yang menuntut pemenuhan, haus akan makna pun mendesak seseorang untuk terus mencari bacaan yang bisa memperkaya pandangan hidupnya.
“Ketika sudah menjadi budaya, membaca itu akan menjadi kebutuhan. Kalau namanya kebutuhan hendak terpenuhi, kan rada gimana gitu, seperti ada yang hilang,” katanya.
Bagi Aswar, membaca adalah salah satu jendela utama dalam perjalanan memperoleh pengetahuan. Tradisi literasi, kata dia, telah diakui sebagai salah satu cara paling efektif untuk menyelami ilmu, memahami kehidupan, hingga membentuk kepribadian. Namun ia menggarisbawahi bahwa pembacaan yang dimaksud bukan sekadar mengeja kata, melainkan menyelami makna.
“Nah, itu yang sebenarnya kalau saya rumutkan, secara filosofis, ya memang dikenal bagaimana orang mendapat pengetahuan itu, jendela salah satu jendela utamanya itu adalah dengan membaca,” ujarnya.
Mengutip pendekatan hermeneutika, sebuah cabang filsafat yang membahas penafsiran makna, Aswar menjelaskan bahwa proses membaca seharusnya melibatkan keterlibatan penuh antara pembaca dan teks. Di situlah terjadi semacam interaksi dialogis—pembaca bukan sekadar penerima pasif, tapi penafsir aktif yang membawa pengalaman, imajinasi, dan horizon maknanya sendiri ke dalam teks.
“Kalau secara hermeneutika ilmu penafsiran makna, bukan hanya berpusat pada decoding kata. Decoding kata itu membaca praktis, menggabungkan huruf menjadi suku kata, menjadi kata, dibunyikan, lalu ada makna dasarnya,” terang Aswar, menjelaskan bahwa membaca bukan sekadar proses fonetik.
Lebih jauh, ia menambahkan bahwa membaca yang bermakna selalu mengandung unsur reflektif. Seorang pembaca yang menyatu dengan teks akan berdialog secara batin, menemukan resonansi pribadi, bahkan membentuk ulang pandangan hidupnya berdasarkan apa yang dia baca.
“Tapi membaca itu lebih pada, kalau tokoh-tokoh filsuf mengatakan itu interaksi dialogis antara teks dengan pembacanya. Jadi ada horizon makna di dalamnya,” pungkasnya.
[RRI | ADV DISKOMINFO PPU]
*Dapatkan berita pilihan terbaru setiap hari dari Dailykaltim.co. Informasi terbaru juga dapat dilihat dan diikuti di seluruh media sosial Dailykaltim.co termasuk Instagram, Facebook, X (twitter), Tiktok dan Youtube.