Dailykaltim.co – Di Desa Binjai Bakung, Kecamatan Pantai Labu, Kabupaten Deli Serdang, melodi sederhana seperti “Topi Saya Bundar” dan “Balonku Ada Lima” kini memiliki makna baru. Di tangan para peneliti dari Universitas Negeri Medan (UNIMED), lagu-lagu anak itu menjadi terapi efektif bagi anak-anak penyandang rhotisisme, yakni gangguan fonologis yang menyebabkan kesulitan dalam mengucapkan bunyi “R”.

Penelitian berjudul “Optimalisasi Komunikasi: Peran Lagu Anak sebagai Media Terapi bagi Penyandang Rhotisisme” yang terbit dalam Basastra: Jurnal Kajian Bahasa dan Sastra Indonesia Volume 13, No. 2 Tahun 2024 (p-ISSN: 2301-5926 | e-ISSN: 2579-793X), dilakukan oleh Tara Ashiilah, Benni Sitanggang, Putri Ardini, Retno Rezky Fajriana, Azan Alfana Ramadan, Lili Tansliova, dan Fitriani Lubis dari Fakultas Bahasa dan Seni UNIMED.

Penelitian ini berawal dari keprihatinan atas temuan 13 anak di desa tersebut yang kesulitan mengucapkan huruf “R” tanpa pernah mendapat penanganan khusus. Mereka tidak mengalami gangguan autisme atau kelainan berat, namun artikulasi mereka tersendat pada huruf getar yang tampak sepele namun sulit itu.

Daripada menggunakan terapi medis konvensional, tim peneliti memilih pendekatan yang lebih dekat dengan dunia anak, yakni melalui nyanyian. Lagu anak dengan konsonan “R” yang kuat digunakan sebagai sarana latihan pelafalan sekaligus penguatan otot artikulatoris. Selama delapan sesi terapi, anak-anak diajak bernyanyi tiga lagu: ciptaan peneliti sendiri berjudul “Riang Gembira” serta dua lagu klasik anak Indonesia, “Topi Saya Bundar” dan “Balonku Ada Lima.”

Lirik sederhana dan melodi yang mudah diingat membantu anak-anak melatih pengucapan dengan cara menyenangkan. Terapi ini bukan hanya meningkatkan kemampuan fonetik, tetapi juga menumbuhkan kepercayaan diri anak untuk berbicara di depan umum.

Melalui pendekatan eksperimen kuantitatif one-group pretest–posttest design, para peneliti mengukur kemampuan bicara anak sebelum dan sesudah mengikuti terapi lagu. Hasilnya menunjukkan peningkatan signifikan. Nilai rata-rata pretest hanya 35,38, sedangkan setelah delapan kali terapi meningkat menjadi 61,15.

Analisis statistik memperkuat hasil tersebut. Uji paired sample t-test menunjukkan nilai signifikansi 0,000 < 0,05, yang berarti terdapat peningkatan nyata dalam kemampuan mengucapkan huruf “R”.

Lebih dari sekadar angka, perubahan juga dirasakan dalam perilaku anak. Berdasarkan wawancara dengan orang tua, anak-anak yang semula pendiam kini lebih percaya diri, aktif menyapa, bercerita, bahkan bernyanyi di depan teman-temannya.

Secara teoritis, penelitian ini menyoroti musik sebagai media komunikasi nonverbal. Ritme dan pengulangan bunyi dalam lagu dapat merangsang pusat bahasa dan motorik anak. Berdasarkan teori Burgoon, Guerrero, dan Floyd (2016), emosi dalam musik memperkaya kemampuan verbal, sementara Prof. R. Melodi dalam Madyawati (2016) menyebut bahwa musik dapat menurunkan ketegangan psikologis serta membuka ruang ekspresi diri.

Temuan tersebut terbukti di lapangan. Anak-anak yang awalnya gugup mulai bisa menyesuaikan tempo, mengulang bunyi “R” secara alami tanpa tekanan, bahkan berimprovisasi dengan melodi. Peneliti mencatat bahwa terapi musik ini tidak hanya memperbaiki artikulasi, tetapi juga meningkatkan keseimbangan emosional dan sosial anak.

Keunggulan metode ini terletak pada kesederhanaannya. Lagu anak dapat diterapkan oleh guru, orang tua, maupun terapis tanpa alat khusus. Yang dibutuhkan hanyalah konsistensi, suasana menyenangkan, dan musik yang familiar di telinga anak.

Penelitian ini membuka peluang bagi pengembangan terapi fonologis berbasis budaya lokal, di mana lagu anak Indonesia menjadi bagian dari proses pembelajaran sekaligus penyembuhan. Dengan sedikit modifikasi, metode ini dapat diterapkan di sekolah dasar, taman kanak-kanak, maupun lembaga terapi wicara.

Dalam saran penutupnya, tim peneliti UNIMED menekankan perlunya memperluas durasi terapi dan menambah variasi lagu agar hasilnya lebih optimal. Mereka juga mendorong pengembangan aplikasi digital sederhana agar terapi ini dapat diakses oleh anak-anak di berbagai daerah.

Penelitian kecil dari Medan ini membuktikan bahwa keajaiban terapi tidak selalu datang dari laboratorium, melainkan bisa lahir dari melodi sederhana masa kanak-kanak. Lagu anak bukan sekadar hiburan, tetapi juga media penyembuhan—membantu anak berbicara, mengekspresikan diri, dan berani bersuara di dunia yang luas. Penelitian ini juga  menunjukkan bahwa komunikasi, musik, dan kasih sayang dapat berpadu dalam satu harmoni—nada yang membantu anak-anak menemukan suara mereka sendiri.

[UHD]
*Dapatkan berita pilihan terbaru setiap hari dari Dailykaltim.co. Informasi terbaru juga dapat dilihat dan diikuti di seluruh media sosial Dailykaltim.co termasuk Instagram, Facebook, X (twitter), Tiktok dan Youtube.

Exit mobile version