Dailykaltim.co – Ibrahim Abubakar, profesor penyakit menular dari University College London, menyampaikan peringatan keras dalam pertemuan Dewan Ekonomi dan Sosial Perserikatan Bangsa-Bangsa (ECOSOC) di New York baru-baru ini. Ia menegaskan bahwa pandemi berikutnya bukan lagi persoalan kemungkinan, melainkan persoalan waktu yang tak terhindarkan.

Menurut Abubakar, ancaman global datang lebih cepat dari yang diperkirakan karena sistem kesehatan dunia masih sangat terkotak-kotak. Padahal, upaya mencegah pandemi tidak mungkin dilakukan secara sepihak oleh satu negara.

“Penyakit menular tidak akan mengenal batas negara. Oleh karena itu, sistem kesehatan yang menjamin kesetaraan, martabat, dan akses universal juga harus gesit dalam menerapkan kebijakan lintas batas,” ujarnya.

Ia menekankan bahwa penguatan sistem kesehatan global dan pencegahan pandemi membutuhkan kemitraan internasional yang solid serta investasi jangka panjang dalam kerangka multilateral. Pendekatan pragmatis, bukan idealisme semata, diperlukan untuk merespons tantangan lintas negara.

Wakil Presiden ECOSOC, Lok Bahadur Thapa, menambahkan bahwa pencapaian Agenda Pembangunan Berkelanjutan 2030 mensyaratkan bentuk kerja sama baru yang bersifat inklusif dan dinamis.

“Jika kita ingin memenuhi ambisi Agenda 2030, kita harus membayangkan kembali bentuk kerja sama, bukan sebagai tindakan transaksional, melainkan sebagai kemitraan yang dinamis, inklusif, dan siap menghadapi masa depan,” katanya.

Pernyataan itu disampaikan dalam Forum Politik Tingkat Tinggi (HLPF) untuk Pembangunan Berkelanjutan yang sedang berlangsung di Markas Besar PBB, New York. Forum ini meninjau kemajuan implementasi 17 Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) yang disepakati oleh komunitas global.

Enam belas tujuan pertama membahas berbagai dimensi pembangunan seperti pengentasan kemiskinan, kesetaraan gender, dan perubahan iklim. Namun, SDG ke-17 menjadi fondasi penting yang menekankan pentingnya kemitraan global antara pemerintah, organisasi masyarakat sipil, komunitas, dan sektor swasta.

Sayangnya, dengan kesenjangan pendanaan pembangunan global yang mencapai lebih dari $4 triliun USD per tahun, kerja sama yang ada masih belum cukup kuat untuk mewujudkan seluruh target SDGs.

“Kita harus membentuk kemitraan transformatif yang benar-benar memecah sekat-sekat tradisional: pemerintah, masyarakat sipil, sektor swasta, dan lembaga multilateral semuanya memiliki peran dalam koalisi inklusif untuk pembangunan berkelanjutan,” ujar Dima Al-Khatib, Direktur UN Office for South-South Cooperation (UNOSSC), dalam salah satu sesi forum.

Dalam konteks kesehatan global, Abubakar menyebut sistem yang ada saat ini masih bersifat reaktif. Negara-negara anggota memang telah menyepakati traktat pencegahan pandemi, namun langkah tersebut dinilai belum cukup menyeluruh.

Pencegahan pandemi, menurut para ahli, harus mencakup layanan rehabilitasi dan perawatan primer yang menyeluruh. Keduanya merupakan investasi penting bagi kesejahteraan manusia serta stabilitas keamanan global.

Mandeep Dhaliwal, Direktur Kesehatan di UNDP, menegaskan bahwa investasi pada pencegahan jauh lebih efektif secara biaya ketimbang penanganan saat krisis telah terjadi.

“Penting untuk berinvestasi pada pencegahan sama seperti pada pengobatan, bahkan lebih hemat biaya karena ibaratnya kita mematikan keran dari sumbernya,” ujarnya.

Namun, tantangan utama terletak pada meyakinkan para investor untuk mendanai upaya pencegahan. Hasilnya yang tidak langsung terlihat sering kali membuat pendanaan menjadi sulit diperoleh.

Investasi dalam kesehatan preventif — termasuk layanan kesehatan primer serta faktor sosial seperti iklim dan gizi — dinilai mampu memperkuat sistem kesehatan secara menyeluruh sebelum krisis muncul.

“Kesehatan bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri, faktor-faktor yang memengaruhi kesehatan sering kali berasal dari luar sektor kesehatan,” kata Dhaliwal, seraya mencontohkan polusi udara sebagai isu iklim yang berdampak langsung terhadap kesehatan masyarakat.

Pendekatan menyeluruh ini memerlukan kemitraan lintas sektor agar setiap program pembangunan, meskipun tampaknya tidak terkait langsung, tetap mempertimbangkan dimensi kesehatan sebagai elemen penting.

Fasilitas multilateral seperti COVAX menjadi contoh keberhasilan kerja sama internasional, dengan memastikan distribusi vaksin COVID-19 ke negara-negara berkembang seperti Tanzania.

“Selama ini kita terlalu sering menganggap kesehatan sebagai urusan belakangan, yang baru membaik jika sistem lain berjalan baik. Tapi sekarang kita paham bahwa kesehatan dan kesejahteraan bukan sekadar hasil dari pembangunan yang baik—melainkan titik awalnya,” kata Tony Ott, profesor ilmu pertanian di Pennsylvania State University, Amerika Serikat

Namun, masih ada tantangan serius dalam menjangkau kelompok rentan, terutama migran dan pengungsi, yang sering kesulitan mengakses layanan kesehatan preventif dan sangat terdampak oleh faktor sosial penentu kesehatan.

“Migrasi dan pengungsian, baik karena konflik, perubahan iklim, maupun faktor ekonomi, menjadi faktor penentu dalam kondisi kesehatan kita,” katanya.

Hingga akhir 2024, tercatat ada 123,2 juta orang di seluruh dunia yang terpaksa mengungsi. Jumlah ini merupakan angka tertinggi dalam satu dekade, menunjukkan bahwa sejak SDGs (Tujuan Pembangunan Berkelanjutan) diadopsi sepuluh tahun lalu, kondisi pengungsian justru memburuk.

Bagi Abubakar, para pengungsi—bersama jutaan migran sukarela lainnya—menjadi bukti bahwa sistem kesehatan tidak bisa lagi berjalan secara terpisah. Ia menekankan pentingnya kerja sama lintas negara dalam membangun sistem kesehatan yang menyeluruh.

“Sistem kesehatan harus memastikan akses terhadap layanan esensial tanpa memandang status imigrasi. Komunitas mana pun yang tidak memiliki akses adalah mata rantai lemah yang dapat membuat kita semua tidak terlindungi,” ucapnya.

Gagasan bahwa kemitraan global merupakan fondasi pencapaian SDGs dinilai masuk akal oleh berbagai pemangku kepentingan. Sebab, tujuan-tujuan tersebut bersifat universal dan membutuhkan sinergi lintas negara.

Namun khusus untuk bidang kesehatan, kerja sama ini tidak boleh hanya melibatkan para ahli. Masyarakat yang membutuhkan layanan kesehatan juga harus dilibatkan. Menurut Abubakar, semua kebijakan kesehatan harus disesuaikan dengan budaya dan kondisi lokal — dan hal ini hanya bisa dilakukan jika komunitas dilibatkan sebagai pusat dalam sistem kesehatan.

“Saya membayangkan masa depan yang dibangun melalui kemitraan global, melibatkan semua negara tanpa memandang tingkat pendapatan, sektor publik dan swasta, akademisi dan masyarakat sipil. Dan dalam kerangka ini, komunitas harus menjadi subjek pertama bukan hanya sebagai penerima, tetapi juga sebagai pencipta solusi bersama,” pungkas  Abubakar.

[UHD]
*Dapatkan berita pilihan terbaru setiap hari dari Dailykaltim.co. Informasi terbaru juga dapat dilihat dan diikuti di seluruh media sosial Dailykaltim.co termasuk Instagram, Facebook, X (twitter), Tiktok dan Youtube.

Exit mobile version