Dailykaltim.co – Penundaan keputusan tarif oleh Amerika Serikat kembali menuai kritik dari badan perdagangan PBB. Direktur Eksekutif International Trade Centre (ITC), Pamela Coke-Hamilton, menyatakan bahwa langkah tersebut justru memperpanjang ketidakpastian global dan berisiko merusak investasi serta kontrak komersial jangka panjang.
Meski semula diberlakukan jeda tarif selama 90 hari, AS tetap mengenakan tarif dasar sebesar 10 persen di atas beban tarif yang sudah ada. Alhasil, banyak negara, terutama dari kelompok berkembang, menghadapi kenaikan biaya ekspor ke pasar Amerika.
Jeda tarif yang semula akan segera berakhir kini diperpanjang hingga 1 Agustus 2025. Dalam konferensi pers di Kantor PBB Jenewa, Coke-Hamilton mengatakan, “Ketidakpastian ekonomi memiliki dampak nyata terhadap negara dan sektor.”
Ia menunjuk lonjakan perdagangan emas dan logam mulia sebagai contoh. Setelah komoditas ini dikecualikan dari kenaikan tarif, volume perdagangannya meroket—data menunjukkan impor emas ke Swiss melonjak hingga 800 persen secara tahunan pada Mei lalu.
Sejak awal tahun ini, ITC mencatat lebih dari 150 kebijakan baru yang bersifat membatasi perdagangan di tingkat global. Situasi ini, menurut Coke-Hamilton, sangat memberatkan negara-negara kurang berkembang yang sudah terbebani oleh tarif tinggi dan minim ruang fiskal untuk merespons.
Di Lesotho, tarif 50 persen terhadap ekspor pakaian ke AS mengancam industri utama negara tersebut dan mengancam ribuan lapangan kerja. Sementara Vietnam, meski telah merundingkan tarif yang lebih rendah, tetap dikenakan beban sebesar 20 persen—dua kali lipat dari tarif dasar sebelumnya. Nilai perdagangan otomotif dan suku cadang Vietnam dengan AS saat ini mencapai USD 937 juta.
Tak hanya itu, Coke-Hamilton juga menyoroti pemotongan bantuan pembangunan. Negara-negara G7, katanya, diperkirakan memangkas anggaran bantuan hingga 28 persen tahun depan—pemotongan terbesar dalam 50 tahun terakhir.
“Badai sempurna sedang terbentuk—di saat perdagangan makin tak menentu, dukungan eksternal lewat bantuan juga semakin menyusut,” katanya.
Untuk menyikapi kondisi ini, ia mendorong negara-negara berkembang menguatkan rantai nilai regional, memperbesar investasi untuk meningkatkan nilai tambah komoditas, serta membangun daya tahan pelaku usaha kecil.
“Stabilitas bisa dibangun dari bawah,” ujarnya.
Meski dibayangi ketidakpastian dari sisi perdagangan dan bantuan internasional, Coke-Hamilton menegaskan bahwa negara berkembang masih memiliki ruang untuk tidak hanya bertahan, tetapi juga menjadi aktor kunci dalam menciptakan kestabilan global.
[PRD]
*Dapatkan berita pilihan terbaru setiap hari dari Dailykaltim.co. Informasi terbaru juga dapat dilihat dan diikuti di seluruh media sosial Dailykaltim.co termasuk Instagram, Facebook, X (twitter), Tiktok dan Youtube.