Dailykaltim.co – Saat ini bumi menghadapi krisis lingkungan dengan perubahan cuaca yang semakin ekstrem dan sulit diprediksi. Fenomena alam yang aneh seperti suhu udara yang sangat panas, banjir, dan angin topan semakin sering terjadi.
“Karena itu, akselerasi hijau menuju masa depan energi yang lebih bersih dan berkelanjutan mendesak untuk dilakukan,” kata Ketua Umum Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI), Wiluyo Kusdwiharto, dalam EITS DISCUSSION SERIES 2024 yang digelar Energy Institute for Transition (EITS) di Jakarta, Rabu (5/6/2024).
Wiluyo menyebut bahwa perubahan cuaca ekstrem tersebut kemungkinan besar menjadi penyebab turbulensi parah yang dialami pesawat Boeing 777-300ER pada penerbangan dari London ke Singapura pada 20 Mei 2024, yang mengakibatkan pendaratan darurat di Bangkok.
“Fenomena perubahan cuaca ekstrem seperti itu akan semakin sering terjadi. Kenaikan suhu bumi akibat emisi karbon yang terus meningkat adalah salah satu penyebabnya, dan kita akan kesulitan memprediksi dampaknya. Kejadian ini harus diwaspadai dan diantisipasi,” ujarnya.
Wiluyo menegaskan bahwa transisi energi harus tetap mempertimbangkan “Trilema Energi” yang mencakup keamanan energi, kelestarian lingkungan, dan keterjangkauan harga. Mengabaikan aspek ini dapat menyebabkan krisis energi di Indonesia, menghambat pembangunan, dan menurunkan ekonomi masyarakat.
“Ujung-ujungnya pembangunan tidak dapat dilaksanakan dan ekonomi masyarakat akan menurun. Karena itu, kita tetap menuju clean energy tanpa melupakan Trilema Energi,” jelasnya.
Wiluyo mengusulkan pengembangan energi terbarukan secara bertahap sebagai strategi untuk menggantikan energi fosil, dengan prioritas pada hidroenergi dan energi panas bumi karena sumber daya ini melimpah di Indonesia.
Potensi besar hidroenergi di Sumatera, Sulawesi, dan Papua, serta geothermal di Indonesia yang merupakan kedua terbesar di dunia, harus dimanfaatkan sejak sekarang.
Direktur Aneka Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian ESDM Andriah Feby Misna menambahkan bahwa perubahan iklim meningkatkan risiko bencana hidrometeorologi yang saat ini menyumbang 80% dari total bencana di Indonesia. Dampak lainnya termasuk kelangkaan air, kerusakan ekosistem, penurunan kualitas kesehatan, dan kelangkaan pangan.
Indonesia, sebagai negara kepulauan, sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim. Data menunjukkan tren peningkatan suhu dan kenaikan permukaan air laut yang signifikan.
Sektor energi berkomitmen mengurangi emisi gas rumah kaca hingga 446 juta ton CO2 pada 2030 melalui pengembangan energi terbarukan dan penerapan teknologi energi bersih.
Feby menyoroti potensi besar energi terbarukan di Indonesia yang masih belum dimanfaatkan secara optimal. Saat ini, pemanfaatan energi terbarukan baru mencapai 0,3% dari total potensinya.
Dewan Pakar METI Zainal Arifin menambahkan bahwa geothermal energy, meski andal, masih mahal karena ketidakpastian hasil saat eksplorasi.
Sementara itu, Kepala Divisi Komersialisasi Minyak dan Gas Bumi SKK Migas Rayendra Sidik memastikan upaya pengurangan emisi karbon terus dilakukan, termasuk melalui carbon capture dan transisi energi dari migas ke energi terbarukan.
“Di situlah porsi kita mendukung transisi sampai siap seratus persen menggunakan energi terbarukan,” pungkas Rayendra.
[RRI]
*Dapatkan berita pilihan terbaru setiap hari dari Dailykaltim.co. Informasi terbaru juga dapat dilihat dan diikuti di seluruh media sosial Dailykaltim.co termasuk Instagram, Facebook, X (twitter), Tiktok dan Youtube.