Oleh Nabila Ariiqah Aini, Mahasiswa Semester Tiga Universitas Mulawarman

Dalam era kontemporer ini, media massa menjadi sarana utama dan paling efektif dalam penyebaran informasi digital sekaligus paling berbahaya dalam mengotak-atik persepsi publik. Terutama pada momen-momen politik seperti demonstrasi besar. Suatu isu dapat dikemas dengan pilihan kata dan narasi yang disesuaikan ke dalam pembingkaian atau istilahnya memframing informasi dari sisi positif maupun negatif bahkan netral sesuai isu mana yang layak ditampilkan, seberapa sering dibahas, dari sudut pandang siapa, dan Robert Entman (1993) menyebutkan framing adalah proses membingkai realitas sesuai kepentingan tertentu.

Pengaruh framing memicu bias kognitif yang membentuk penilaian masyarakat terhadap rasionalitas bergeser ke polarisasi. Polarisasi itu kondisi masyarakat yang terbelah menjadi dua kubu, bukan karena perbedaan gagasan idealis, tetapi karena bawaan keyakinan ideologis dan bias kognitif tertentu dengan cara menggunakan perasaan atau empati khalayak untuk masuk ke pembingkaian narasi.

Fenomena pembingkaian isu tersebut salah satunya adalah demonstrasi pada bulan Agustus tahun 2025. Demo sebagai bentuk penyaluran aspirasi dan tuntutan terhadap berbagai kebijakan pemerintah yang tidak sesuai kebutuhan rakyat. Membuat rakyat menuntut reformasi, seperti UU, regulasi, dan kebijakan agar menciptakan sistem yang lebih adil serta menitikberatkan pada aspirasi rakyat. Momentum ini digunakan media massa untuk menginformasikan atau menyiarkan kepada publik melalui kondisi dan situasi terkini, ada juga yang menarasikan opini-opini sebagai bahan refleksi.

Media massa akan memframing atau memberi pengaruh kuat kepada masyarakat dalam isu tertentu. Begitu media menyorot satu isu terus-menerus, otak publik otomatis menganggap isu itu penting padahal bisa jadi banyak hal lain yang sama pentingnya tapi gak disorot. Hal ini sejalan dengan teori agenda setting yang dikemukakan McCombs dan Shaw (1972), “The media may not be successful much of the time in telling people what to think, but it is stunningly successful in telling its readers what to think about”, artinya bahwa media mungkin tidak selalu berhasil membuat orang memikirkan sesuatu sesuai keinginan media, tetapi sangat berhasil menentukan isu apa yang dianggap penting oleh khalayak.

Teori second-level agenda setting McCombs & Ghanem (2001), menyebutkan “The media not only tell us what to think about, but also how to think about it, and consequently what to think”, artinya Media tidak hanya mengatur isu mana yang penting, tapi juga cara kita memahami dan menilai isu itu. Teori ini berkaitan dengan penjelasan McCombs dan Shaw (1993), bahwa “The agenda-setting role of the news media also extends to the criteria by which the public evaluates political leaders”, artinya peran agenda setting dari media massa juga meluas hingga pada kriteria yang digunakan publik untuk menilai para pemimpin politik. Jadi, korelasi kedua teori tersebut adalah framing media mengarahkan opini, sikap, penilaian realitas politik masyarakat (kriteria publik) terhadap isu dan pemimpin politik. Sehingga dapat memicu dilema, terlebih masyarakat tak jarang langsung final menunjuk satu sudut pandang bahwa ini benar, ini yang salah, mengakibat polarisasi opini publik yang kurang tepat.

Contoh framing media terlihat dalam artikel Mahkamah Agung RI. (2025, 26 Agustus). “Demo Anarkis: Ketika Aspirasi Rakyat Ditunggangi Kepentingan Tersembunyi”.  Artikel tersebut menyebutkan bahwa demonstrasi yang awalnya dilandasi aspirasi rakyat dapat bergeser menjadi aksi anarkis. Menunjukkan praktik agenda setting sebagaimana dijelaskan McCombs dan Shaw (1972), bahwa media berhasil menentukan isu apa yang dianggap penting bagi publik. Dengan menonjolkan sudut pandang “anarkis,” media mengarahkan perhatian masyarakat pada aspek kekacauan, bukan substansi aspirasi rakyat.

Berdasarkan laporan yang didapat Kompas.tv. (2025, 29 Agustus). “Komnas HAM Temukan Kekuatan Berlebihan Aparat dalam Demo 25 dan 28 Agustus, 951 Orang Ditahan”. Laporan data tersebut menyebutkan bahwa aksi tanggal 25 Agustus 2025 ada 351 orang yang ditangkap dan pada aksi 28 Agustus 2025 diduga 600 orang ditangkap total sekitar 951 orang untuk kedua tanggal tersebut. Banyaknya massa aksi yang ditangkap karena tindakan penangkapan sewenang-wenang dengan dalih pengamanan oleh kepolisian yang merupakan pembatasan kebebasan bergerak. Wakil Ketua Eksternal Komnas HAM, Putu Elvina menjelaskan, “Diduga kuat telah terjadi penggunaan kekuatan yang berlebih atau eksesif oleh aparat dalam penanganan aksi unjuk rasa yang menyebabkan satu orang atas nama almarhum Affan Kurniawan, 21 tahun, meninggal dunia karena diduga kuat ditabrak dan dilindas oleh kendaraan taktis Brimob Polri” (kompas.tv, 2025). Dalam teori McCombs dan Shaw (1993), media tidak hanya membentuk persepsi isu, tetapi juga memengaruhi kriteria publik dalam menilai pemimpin politik. Melalui penekanan terhadap penangkapan massal dan kekerasan aparat, Kompas.tv (2025) mengarahkan publik menilai pemerintah dari aspek HAM dan akuntabilitas. Pembingkaian ini menjadi counter-framing terhadap contoh pertama narasi resmi yang menstigmatisasi demonstrasi.

Penulisan opini ini menekankan bagaimana mekanisme agenda setting dan framing media membentuk cara publik menilai isu serta pemimpin politik, yang pada akhirnya memicu polarisasi dalam konteks demonstrasi Agustus 2025. Dari kedua contoh sebelumnya, menunjukkan bagaimana media membentuk realitas politik dan sosial. Ketika media resmi pemerintah (Mahkamah Agung RI, 2025)  menonjolkan sisi “anarkis” dan “penunggang kepentingan tersembunyi,” publik terdorong untuk menilai pemimpin politik berdasarkan kemampuan menjaga ketertiban dan keamanan atau membangun citra pemimpin politik yang positif sedangkan citra demonstrasi sebagai ancaman. Sementara framing Kompas.tv (2025) mendorong publik menilai pemimpin dari ketidakmampuan menjamin keadilan dan HAM atau menyorot pelanggaran aparat dan ketidakadilan struktural yang membangun citra buruk pemimpin politik dan citra aksi massa yang positif sebagai representasi perlawanan terhadap ketidakadilan. Akibatnya publik terpecah menjadi dua kubu untuk memihak siapa dan menghakimi siapa. Bahayanya jika masyarakat hanya mengkonsumsi salah satu framingsaja, publik dapat menilai secara ekstrem. Yang kemudian, lahirlah polarisasi extrem juga. Dampaknya adalah menjauhkan rasionalitas dalam menilai sebuah narasi, terutama sering terjadi dikalangan yang kurang kesadaran kritis dan literasi politik.

Kesimpulannya adalah media tidak hanya membentuk persepsi publik lewat isu yang diangkat (agenda setting) dari (McCombs & Shaw, 1972), tapi juga lewat cara isu itu disajikan (framing) dari (McCombs & Ghanem, 2001; McCombs & Shaw, 1993), dan dari situlah lahir polarisasi sosial yang menumpulkan rasionalitas masyarakat. Sehingga untuk mengatasi framing ke polarisasi semakin buruk, perlu dibenahi dan diupayakan kepada media massa dan kaum intelektual untuk menyampaikan literasi politik yang kritis serta institusi politik yang memiliki otoritas, seperti pemerintah dan partai politik yang lebih dominan sekaligus juga paling dekat dalam mempersuasikan masyarakat terhadap pendidikan politik secara komprehensif.

Demonstrasi bukan soal panggung depan semata atas nama rakyat, namun hak dan kewajiban warga negara untuk mendapatkan keadilan dalam menuntut substansi demokrasi. Maka setiap narasi harus di selektif untuk menilai secara benar dan tepat, karena media bisa jadi pengawas kekuasaan, tapi juga bisa jadi alat kekuasaan. Oleh karena itu, literasi politik dan pendidikan politik sangat berperan sentral dalam menjaga rasionalitas juga kesadaran politik masyarakat untuk dapat bernalar aktif, publik yang skeptis, memastikan referensi dari setiap media resmi agenda setting berita agar tidak mudah terprovokasi.

*) Tanggung jawab atas opini ini sepenuhnya ada pada penulis sebagaimana tercantum, dan tidak mencerminkan pandangan atau kebijakan redaksi DailyKaltim.co.

Exit mobile version