Dailykaltim.co – Belanja daring bukan lagi sekadar aktivitas fungsional untuk memenuhi kebutuhan. Bagi generasi Z, ia telah menjelma menjadi bagian tak terpisahkan dari gaya hidup digital, budaya konsumsi, bahkan pelarian dari tekanan psikologis. Dengan sekali klik dan swipe, barang datang mengetuk pintu. Namun di balik kemudahan itu, terhampar lanskap konsumsi yang kian impulsif dan sulit dikendalikan.
Hal tersebut terungkap dalam riset berjudul “Gaya Hidup Konsumtif Generasi Z dalam Era Belanja Daring Indonesia”yang ditulis oleh Marsha Zafirah Pohan, Tasya Azzahra Nasution, dan Syafruddin Pohan dari Program Ilmu Komunikasi, FISIP Universitas Sumatera Utara. Artikel ini dimuat dalam Jurnal Ilmu Sosial Humaniora Indonesia, Volume 4, Nomor 2, Desember 2024, halaman 237–246. Dengan pendekatan studi literatur, para peneliti menganalisis berbagai literatur ilmiah untuk mengurai faktor-faktor yang mendorong perilaku konsumtif generasi Z di tengah ledakan e-commerce.
Generasi Z, yang lahir antara 1997–2012, merupakan digital natives yang tumbuh seiring dengan internet dan media sosial. Mereka hidup dalam era instan, di mana semua kebutuhan bisa dipenuhi dalam hitungan menit. Dalam ekosistem ini, muncul kecenderungan membeli barang bukan lagi berdasarkan kebutuhan, melainkan dorongan emosional dan tekanan sosial.
Salah satu pemicu utamanya adalah media baru—terutama media sosial dan platform e-commerce—yang memfasilitasi belanja daring dengan sangat efisien. Influencer, tren viral, dan algoritma iklan menciptakan atmosfer konsumsi yang tak berhenti. Barang-barang yang sedang naik daun mudah dibicarakan, diiklankan, dan kemudian dibeli—seringkali tanpa pertimbangan rasional. Inilah bentuk konsumsi yang dikritik Jean Baudrillard, di mana masyarakat membeli bukan karena butuh, tapi karena ingin tampak seperti apa yang dibayangkan.
Kemudahan bertransaksi juga menjadi pendorong kuat. Sistem pembayaran digital, layanan pengiriman cepat, dan fitur pelacakan barang membuat proses belanja begitu nyaman. Semakin sedikit hambatan untuk membeli, semakin besar pula potensi belanja impulsif. Fitur flash sale dan diskon kilat yang memberi tekanan waktu membuat konsumen mengambil keputusan secara tergesa.
Namun lebih dari aspek teknologis, penelitian ini menyoroti dimensi psikologis yang kerap luput diperbincangkan. Perilaku konsumtif ternyata berkaitan erat dengan kebutuhan psikologis seperti rasa aman, pengakuan sosial, dan kasih sayang. Misalnya, seseorang membeli barang bukan karena perlu, tetapi karena takut tertinggal tren (FOMO) atau ingin menunjukkan cinta kepada orang terdekat melalui hadiah. Ketika kebutuhan ini tak terpenuhi, belanja menjadi pelarian.
Penelitian ini juga mencatat pentingnya literasi keuangan sebagai penyeimbang. Generasi Z yang memiliki pemahaman rendah tentang manajemen keuangan cenderung kesulitan membedakan antara kebutuhan dan keinginan. Mereka yang tidak terbiasa menyusun anggaran lebih rentan terjerat konsumsi impulsif. Sebaliknya, literasi keuangan yang baik terbukti efektif meredam hasrat konsumsi berlebihan.
Dalam rangka membangun kesadaran baru, para penulis merekomendasikan kolaborasi antara platform belanja daring dengan lembaga edukatif untuk menyebarkan kampanye konsumsi bijak. Edukasi keuangan, pencegahan pembelian impulsif, hingga pemanfaatan influencer untuk menyampaikan pesan bijak konsumsi disebut sebagai strategi potensial.
Penelitian ini menjadi pengingat bahwa perilaku konsumtif tidak lahir di ruang hampa. Ia dibentuk oleh sistem yang lebih besar: teknologi, budaya, ekonomi, dan psikologi. Generasi Z hidup dalam arus digital yang cepat dan deras. Mereka perlu dibekali dengan kesadaran baru agar tidak tenggelam dalam gaya hidup yang hanya menyisakan kepuasan sesaat, tetapi tak menyentuh kebutuhan terdalam manusia.