Dailykaltim.co – Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang penting pada Senin, 16 Desember 2024, terkait pengujian Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK) terhadap Undang-Undang Dasar 1945. Agenda kali ini adalah mendengarkan keterangan ahli dari pihak Presiden, yang diminta untuk menjelaskan pasal-pasal yang dipersoalkan oleh para Pemohon.

Permohonan ini diajukan oleh Giri Ahmad Taufik dan Wicaksana Dramanda, dua dosen, serta Mario Angkawidjaja, seorang mahasiswa, melalui perkara bernomor 85/PUU-XXII/2024. Ketiganya menyatakan bahwa sejumlah ketentuan dalam UU P2SK berpotensi melanggar hak konstitusional mereka sebagai warga negara sekaligus nasabah bank.

Poin utama yang dipermasalahkan adalah kewenangan Menteri Keuangan untuk menyetujui Rencana Kerja dan Anggaran Tahunan (RKAT) Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Menurut para Pemohon, aturan ini mengancam independensi LPS sebagai lembaga regulator keuangan dan membuka celah intervensi politik yang dapat merusak transparansi serta akuntabilitas sektor keuangan.

“Kewenangan tersebut bertentangan dengan Pasal 23D, Pasal 28C ayat (2), dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang menjamin sistem perbankan yang independen, hak kolektif untuk memperjuangkan kepentingan, dan kepastian hukum yang adil,” jelas para Pemohon dalam permohonan mereka.

Para Pemohon meminta MK menyatakan bahwa ketentuan mengenai kewenangan Menteri Keuangan atas RKAT LPS tersebut inkonstitusional.

Dalam sidang tersebut, sejumlah pihak memberikan keterangan, termasuk DPR, Bank Indonesia (BI), Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan LPS. Plh Kepala Departemen Hukum BI, Amsal Chandra Appy, menjelaskan bahwa Pinjaman Likuiditas Jangka Pendek (PLJP) berbeda dengan penempatan dana oleh LPS.

“PLJP diberikan kepada bank yang masih solvent namun menghadapi masalah likuiditas sementara. Sedangkan penempatan dana oleh LPS diperuntukkan bagi bank yang sedang dalam proses penyehatan dan berisiko menjadi insolven,” ujar Amsal.

Ahli hukum Zulkarnain Sitompul, yang pernah menjabat sebagai Deputi Komisioner Hukum OJK, turut memberikan pandangannya. Ia mengkritisi aturan yang mewajibkan persetujuan Menteri Keuangan atas RKAT LPS. Menurutnya, aturan ini tidak memenuhi prinsip kebutuhan (necessity) dan keseimbangan (balancing), mengingat anggaran LPS tidak bersumber dari APBN.

“Ketentuan ini berpotensi merusak independensi LPS dan tidak memperkuat akuntabilitas lembaga tersebut,” ungkap Zulkarnain.

Sementara itu, pada sidang sebelumnya yang digelar 4 Desember 2024, ahli hukum administrasi negara Universitas Atma Jaya, W. Riawan Tjandra, menilai kewenangan Menteri Keuangan atas RKAT LPS merupakan bagian dari fungsi teknis birokrasi. Namun, ia menegaskan pentingnya menjaga keseimbangan antara kontrol pemerintah dan independensi lembaga penjamin simpanan.

Sidang ini menjadi upaya penting untuk memastikan bahwa regulasi sektor keuangan berjalan sesuai prinsip konstitusional yang menjamin transparansi dan independensi. Keputusan MK tidak hanya ditunggu oleh para Pemohon, tetapi juga oleh publik dan pelaku industri keuangan yang berharap stabilitas sektor keuangan tetap terjaga tanpa mengorbankan prinsip-prinsip dasar hukum.

Dengan melibatkan berbagai ahli dan lembaga, Mahkamah diharapkan dapat memberikan keputusan yang mempertimbangkan hak individu sekaligus menjaga keberlanjutan dan integritas sistem keuangan nasional.

[UHD]
*Dapatkan berita pilihan terbaru setiap hari dari Dailykaltim.co. Informasi terbaru juga dapat dilihat dan diikuti di seluruh media sosial Dailykaltim.co termasuk Instagram, Facebook, X (twitter), Tiktok dan Youtube.

Exit mobile version