Dailykaltim.co – Di antara hamparan sawah dan perbukitan di Kabupaten Penukal Abab Lematang Ilir (PALI), Sumatera Selatan, berdiri dua desa yang tampak biasa, namun menyimpan kisah yang luar biasa. Desa Tanah Abang dan Desa Tempirai tak hanya diikat oleh kedekatan geografis, tetapi juga oleh sebuah sumpah tua yang menjadi penanda batas cinta bagi warganya: sumpah perjodohan puyang.

Hingga kini, generasi demi generasi masih percaya, sumpah itu nyata. Konon, mereka yang melanggarnya akan menanggung konsekuensi yang tak sekadar sosial, tetapi juga mistis: mata menjadi buta, sakit yang tak terjelaskan, hingga rumah tangga yang berantakan. Inilah cerita rakyat yang tetap hidup, menjadi penjaga tak kasat mata di antara dua komunitas yang berjarak seratus kilometer namun disatukan oleh sebuah garis larangan yang tak terlihat.

Kisah ini bermula dari dua sosok leluhur, atau yang disebut puyang, masing-masing berasal dari Tanah Abang dan Tempirai. Dalam sebuah perantauan yang jauh dari kampung halaman, kedua puyang ini berselisih paham. Perdebatan yang awalnya ringan menjelma menjadi pertarungan panjang, berlarut hingga seharian.

Di tengah pertarungan itu, datanglah guru mereka—orang yang ternyata menjadi guru bagi keduanya. Disinilah perselisihan menemukan akhir yang tak biasa: kedua puyang bersumpah untuk menganggap kedua desa sebagai saudara kandung, dan dengan itu muncul larangan mutlak: warga Tanah Abang dan Tempirai tak boleh saling berjodoh dan tak boleh saling bermusuhan.

Sumpah itu, dalam tafsir budaya, adalah perjanjian sosial dan spiritual sekaligus, sebuah kesepakatan tak tertulis yang diwariskan lewat kata, bukan tinta. Ia hidup dalam napas masyarakat, dalam bisik-bisik yang berpindah dari satu generasi ke generasi lain.

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Bila Monika, Masnunah, dan Hayatun Nufus dari Universitas PGRI Palembang, yang dimuat di Jurnal Bastra Vol. 7, No. 4 Oktober–Desember 2022 (ISSN 2503-3875), terungkap betapa kuatnya persepsi masyarakat terhadap sumpah ini. Peneliti mewawancarai sepuluh informan, terdiri dari pemangku adat, tokoh masyarakat, dan ibu rumah tangga. Hasilnya mencengangkan: semua informan meyakini sumpah perjodohan itu benar adanya dan masih berlaku hingga hari ini.

Cerita-cerita yang mereka sampaikan terdengar seperti bab dari kisah mistis yang mengikat kehidupan sehari-hari.

  • Cik Kena (53) mengingatkan anak-cucunya agar tidak pacaran dengan orang Tempirai. Ia pernah mendengar pasangan yang melanggar sumpah itu tiba-tiba mengalami kebutaan.
  • Pak Lintasan (58), seorang petani, percaya bahkan “sekadar saling jatuh cinta” bisa mendatangkan penyakit mata.
  • Pak Asri (62), pemangku adat, bercerita tentang seorang suami yang meninggal tak lama setelah menikah dengan perempuan dari desa terlarang itu, diyakini sebagai akibat sumpah leluhur.

Cerita-cerita serupa juga datang dari pihak Tempirai. Ibu Halipah (58) mengisahkan pasangan dari dua desa yang buta setelah menikah. Ibu Muna (62) bahkan pernah mendengar pernikahan yang batal secara tiba-tiba tanpa sebab jelas—seolah sumpah itu bekerja diam-diam memutus niat cinta.

Persepsi ini bukan sekadar ketakutan irasional, melainkan bagian dari sistem nilai yang membentuk kehidupan sosial desa. Sumpah itu menjaga harmoni sekaligus membatasi interaksi romantis, menjadi mekanisme sosial yang memelihara jarak dalam kedekatan.

Dari sudut pandang antropologi budaya, sumpah perjodohan ini adalah bentuk folklor yang hidup, memenuhi ciri-ciri yang diuraikan Danandjaja: diwariskan lisan, bersifat tradisional, anonim, dan memiliki fungsi sosial yang jelas. Dalam konteks ini, sumpah bukan hanya mitos penghalang cinta, tapi alat kontrol sosial yang menyatu dengan ingatan kolektif.

Penelitian yang dimuat dalam Jurnal Bastra menegaskan, kepercayaan terhadap sumpah perjodohan telah menjadi perekat identitas kultural, meskipun dunia di luar desa bergerak menuju era modern yang lebih rasional. Masyarakat tetap menurunkan kisah ini karena pengalaman nyata yang mereka rasakan atau dengar telah memperkuat legitimasi cerita. Dalam bahasa psikologi budaya, persepsi yang diulang terus menerus menciptakan realitas sosial yang dipercaya bersama.

Di tengah derasnya arus modernisasi, sumpah ini menimbulkan pertanyaan reflektif: apakah keyakinan kolektif bisa lebih kuat daripada cinta pribadi? Jawabannya, setidaknya di Tanah Abang dan Tempirai, adalah ya.

Larangan itu tetap menjadi pagar tak kasat mata yang dijaga bukan oleh polisi adat, tetapi oleh rasa takut yang diturunkan dari nenek moyang. Dalam dunia yang semakin rasional, keberlangsungan cerita ini menunjukkan betapa pentingnya memori budaya sebagai penentu arah perilaku manusia.

[UHD]
*Dapatkan berita pilihan terbaru setiap hari dari Dailykaltim.co. Informasi terbaru juga dapat dilihat dan diikuti di seluruh media sosial Dailykaltim.co termasuk Instagram, Facebook, X (twitter), Tiktok dan Youtube.

Exit mobile version