Dailykaltim.co – Dalam adat pernikahan masyarakat Batak Toba, umpasa tidak sekadar dilantunkan sebagai pelengkap seremoni. Ia adalah untaian kata penuh makna yang mengalirkan nilai, doa, hingga filosofi hidup yang diwariskan lintas generasi. Sebuah penelitian terkini dari Universitas Gadjah Mada mengungkap kedalaman makna kultural umpasa pernikahan dalam konteks masyarakat Batak Toba perantauan di Samarinda.
Penelitian yang dilakukan oleh Lova Daniel dan Sulistyowati ini bertajuk “Makna Kultural Umpasa pada Upacara Pernikahan Batak Toba di Samarinda”, dipublikasikan dalam Jurnal Lingua, Volume 9 Nomor 1, Januari 2025, halaman 109–122, dan telah terakreditasi Sinta 4. Studi ini menyoroti peran umpasa sebagai seni verbal tradisional yang memuat nilai-nilai sosial, spiritual, dan budaya dalam bentuk pantun berima dua larik: larik sampiran dan isi.
Para peneliti menemukan bahwa keturunan atau anak adalah simbol sentral dalam umpasa pernikahan. Anak diposisikan sebagai “hamoraon”—kekayaan sejati—yang tidak hanya meneruskan marga tetapi juga menjaga keberlangsungan nilai-nilai budaya dan spiritualitas keluarga. Dalam umpasa seperti anakhonhi do hamoraon di ahu, tersirat bahwa kekayaan sejati orang tua bukanlah materi, melainkan anak yang cerdas, berbudi, dan menjadi kebanggaan keluarga.
Penelitian ini mencatat 15 umpasa yang digunakan dalam upacara pernikahan Batak Toba di Samarinda. Hampir seluruhnya mengandung doa dan harapan: agar pengantin diberkahi keturunan, umur panjang, rezeki, serta perlindungan Tuhan. Contohnya, umpasa “Giring-giring ma tu gosta-gosta, tu boras ni sikkoru” yang mengandung harapan agar pasangan cepat memiliki anak dan mampu mendidik mereka dengan baik. Dalam umpasa lain, metafora seperti pohon aren, ikan mas, suara burung tekukur, dan sampan di tepian digunakan sebagai lambang kemakmuran, keharmonisan, dan perjalanan hidup berkeluarga.
Temuan penting lainnya adalah bagaimana umpasa merefleksikan relasi tiga aspek utama dalam budaya Batak Toba: hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan antar manusia, serta nilai kehidupan rumah tangga. Umpasa seperti “Eme ni sitamba tua ma parlinggoman” menekankan peran Tuhan sebagai pemberi umur dan perlindungan. Sementara “Padanmu ma unang olo sirang” adalah ekspresi sakral atas janji setia dalam pernikahan.
Menariknya, meski dilantunkan di Samarinda, umpasa-umpasa ini masih mempertahankan diksi dan simbol-simbol tradisional dari kampung asal di Tapanuli. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat Batak Toba perantauan masih menjunjung tinggi identitas budaya mereka. Simbol-simbol seperti dekke (ikan mas) dan lage (tikar), meskipun tidak lagi digunakan secara harfiah, tetap hidup sebagai metafora dalam bahasa dan makna.
Penelitian ini menggarisbawahi pentingnya pelestarian umpasa sebagai warisan budaya tak benda. Selain sebagai alat komunikasi, umpasa adalah ruang penyemaian nilai: harmoni, kesetaraan, kesetiaan, dan kebijaksanaan leluhur. Dalam konteks masyarakat urban yang kian modern, keberlanjutan tradisi umpasa tidak hanya menjadi pengikat identitas komunitas Batak Toba, tetapi juga cerminan bagaimana kearifan lokal mampu berdialog dengan zaman.