Dailykaltim.co – Mahkamah Konstitusi (MK) menyelenggarakan sidang pemeriksaan pendahuluan untuk uji materiil terhadap Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2016 tentang Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) yang dibandingkan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945).
Sidang yang diadakan pada Senin (5/8/2024) ini menangani permohonan yang terdaftar dengan nomor perkara 86/PUUXXII/2024. Permohonan ini diajukan oleh Leonardo Olefins Hamonangan, seorang pegawai swasta, dan Ricky Donny Lamhot Marpaung, pelaku usaha mikro kecil menengah (UMKM).
Menurut siaran pers dari MK, para pemohon merasa mengalami kerugian konstitusional yang dijamin oleh pengujian undang-undang, terutama terkait dengan Pasal 7 ayat (1), ayat (2), frasa “atau” dan frasa “sudah kawin” pada ayat (3), serta Pasal 72 ayat (1) huruf e dan f dari Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2016 tentang Tapera.
Para pemohon mengungkapkan bahwa penerapan pasal-pasal tersebut menimbulkan masalah baru bagi seluruh warga negara Indonesia, terutama bagi mereka sendiri, yang merasa rugi secara konstitusional akibat pengurangan pendapatan karena iuran Tapera. Hal ini diperparah oleh biaya hidup yang semakin meningkat dan potongan lainnya seperti iuran BPJS yang mengurangi pendapatan atau upah.
Ketidakjelasan dalam penentuan peserta Tapera, khususnya terkait frasa “atau” dan “sudah kawin,” menciptakan celah hukum yang memungkinkan individu yang belum menikah namun bekerja untuk memperpanjang kepesertaannya dengan alasan akan menikah di masa depan. Ketidakpastian hukum ini mengakibatkan perlakuan yang tidak adil terhadap pemohon dan tidak memberikan kepastian hukum.
Para pemohon berpendapat bahwa penggunaan frasa “sudah kawin” dalam program Tapera menyebabkan kekacauan dan ketidakadilan karena memberikan alternatif pilihan bagi peserta yang memungkinkan adanya penyalahgunaan program oleh masyarakat atau oknum. Mereka berpendapat bahwa Pasal 7 ayat (3) seharusnya cukup mensyaratkan usia minimal 20 tahun tanpa tambahan frasa tersebut.
Para pemohon juga merasa dirugikan oleh keberadaan program Tapera sesuai UU No. 4 Tahun 2016, karena beban finansial yang dirasakan di masa depan, terutama dengan kenaikan harga pangan yang dipengaruhi inflasi dan potensi ketidakstabilan politik. Mereka berkeyakinan bahwa program Tapera tidak mencerminkan prinsip welfare state, di mana pemerintah seharusnya tidak hanya bertanggung jawab atas ketertiban dan keamanan masyarakat, tetapi juga atas kesejahteraan rakyat.
Pemohon meminta MK untuk menyatakan bahwa ketentuan yang mewajibkan pekerja dan pekerja mandiri menjadi peserta program Tapera bertentangan dengan UUD 1945. Mereka berargumen bahwa kewajiban tersebut membatasi kebebasan individu dan dapat membebani pekerja dengan penghasilan rendah. Pemohon mengusulkan agar keikutsertaan dalam program Tapera bersifat sukarela dan didasarkan pada kesepakatan antara pekerja dan pemberi kerja, sehingga tidak memberatkan pekerja dan sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi.
[UHD]
*Dapatkan berita pilihan terbaru setiap hari dari Dailykaltim.co. Informasi terbaru juga dapat dilihat dan diikuti di seluruh media sosial Dailykaltim.co termasuk Instagram, Facebook, X (twitter), Tiktok dan Youtube.