Dailykaltim.co – Di sebuah kampung di Kutai Barat, ketika matahari mulai tergelincir di balik rimbun hutan Kalimantan, terdengar suara bersyair yang lirih namun meresap. Itulah rijoq—nyanyian khas suku Dayak Benuaq—yang dahulu mengalun tanpa iringan musik, hanya suara yang saling bersahutan setelah seharian membakar ladang. Kini, nyanyian itu perlahan bertransformasi. Masih setia pada akarnya, namun berani merambah panggung-panggung digital, kanal YouTube, hingga festival budaya modern.
Rijoq tak sekadar hiburan. Ia adalah identitas. Ia adalah narasi yang menampung nilai, filosofi, bahkan spiritualitas masyarakat Dayak Benuaq. Di tengah arus globalisasi yang deras, warisan ini sempat nyaris tenggelam. Namun penyanyi-penyanyi lokal seperti Martinus Sigum dan Santy tidak tinggal diam. Dengan suara dan dedikasi mereka, rijoq dibangkitkan, diolah ulang, dan dikembalikan kepada generasinya—bukan sebagai fosil budaya, tetapi sebagai bentuk seni hidup yang relevan.
Itulah temuan utama dari penelitian berjudul “Peran Penyanyi Daerah dalam Pelestarian Nyanyian Rijoq Suku Dayak Benuaq di Kutai Barat” yang ditulis oleh Faisal Erlangga, Zamrud Whidas Pratama, dan Saferi Yohana dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Mulawarman. Artikel ini dipublikasikan dalam Jurnal Budaya Suara Samudra Borneo (JBSSB), Volume 9, Nomor 2, April 2025, halaman 167–190, terakreditasi Sinta 4.
Penelitian ini memetakan bagaimana rijoq, yang berasal dari kata “berejoq” (bersyair), mengalami dinamika sejarah, dari masa ketika ia dibawakan secara spontan, hingga kini berkembang dengan iringan alat musik seperti kelentangan, suling dewa, bahkan electone. Namun yang paling mencolok adalah peran para penyanyi yang tidak hanya menghidupkan rijoq lewat suara, tetapi juga strategi pelestarian.
Martinus Sigum misalnya, mempublikasikan rijoq melalui kanal YouTube, menjangkau penonton yang tak lagi hanya duduk di tikar rumah panjang. Di sekolah dasar Kampung Mencimai, rijoq diajarkan sebagai muatan lokal. Dalam beberapa festival budaya, rijoq tak sekadar ditampilkan tetapi dimodifikasi untuk bisa berdialog dengan musik modern. Penambahan ornamentasi vokal, seperti teknik melismatis dan silabis, menciptakan ruang baru untuk interpretasi tanpa meninggalkan bentuk aslinya.
Para peneliti menggunakan pendekatan revitalisasi budaya ala Alwasilah (2006) yang menekankan tiga tahap penting: kesadaran, perencanaan kolektif, dan inovasi. Rijoq bukan sekadar dijaga sebagai artefak. Ia perlu dibiarkan tumbuh. Maka tak heran jika lagu-lagu seperti “Sokat Inaaq Amaaq” ciptaan Sigum menggunakan pola syair khas rijoq, tapi diolah dalam nada dasar G Mayor, menyiratkan rindu mendalam kepada ibu, dan menyuguhkan rasa yang lekat bagi pendengar modern.
Menariknya, meskipun instrumen dan cara penyebarannya berubah, akar spiritual dan sosial rijoq tetap dipertahankan. Dalam struktur lagu, baris-baris syair menyimpan fungsi ganda: sebagai medium cerita dan ekspresi perasaan, sekaligus sebagai penanda kosmologi lokal. Ketika dinyanyikan, rijoq menjadi jembatan antara manusia, alam, dan para leluhur.
Lebih dari itu, rijoq telah membuktikan bahwa musik tradisional bukanlah sisa masa lalu yang dikemas ulang demi estetika. Ia adalah ruang hidup tempat masyarakat Dayak Benuaq menegosiasikan identitas mereka. Dalam perubahan, mereka tak kehilangan makna. Justru di situlah tradisi itu menjadi abadi.