Dailykaltim.co – Pengalaman pahit akibat COVID-19 mendorong terciptanya instrumen internasional baru untuk kesiapsiagaan dan respons pandemi bernama Pandemic Treaty/Pandemic Agreement. Inisiatif ini berasal dari WHO dan didukung oleh Presiden RI Joko Widodo bersama 25 kepala negara/pemerintahan lainnya.
Pandemi COVID-19 menunjukkan bahwa banyak negara gagal melindungi kesehatan masyarakatnya. Sistem ketahanan kesehatan global, terutama di negara berkembang, terbukti rapuh, terutama dalam hal kekuatan finansial dan akses terhadap vaksin, obat, dan diagnostik (VTD). Kesenjangan antara negara maju dan negara berpenghasilan rendah dan menengah semakin terlihat jelas.
“Kesenjangan tersebut menyebabkan hingga saat ini masih ada 30% penduduk dunia yang belum pernah sekalipun mendapatkan vaksin,” kata Juru Bicara Kementerian Kesehatan (Kemenkes) M Syahril melalui keterangan resminya, Sabtu (1/6/2024).
Pandemic Treaty diharapkan bisa mendorong negara berkembang, termasuk Indonesia, untuk mendapatkan akses setara terhadap vaksin, obat, dan VTD. Proses negosiasi dimulai sejak Desember 2021, namun belum mencapai kesepakatan, sehingga sidang World Health Assembly (WHA) ke-77 memutuskan untuk memperpanjang negosiasi hingga sidang WHA berikutnya.
Indonesia berpartisipasi aktif dalam perundingan Pandemic Treaty di Intergovernmental Negotiating Body (INB) untuk memperjuangkan kepentingan nasional dalam isu strategis seperti sistem surveilans, transfer teknologi, dan kesetaraan akses.
Negosiasi yang berlangsung hingga batas waktu 24 Mei 2024 masih menyisakan beberapa pasal yang belum disepakati, terutama mengenai Pathogen Access and Benefit Sharing (PABS), pencegahan, dan instrumen One Health.
“Pemerintah Indonesia akan tetap memperjuangkan prinsip kesetaraan antara negara maju dan negara berkembang agar dapat masuk dalam Pandemic Treaty,” kata Syahril.
Ada empat poin perhatian utama Pemerintah Indonesia dalam komponen Pandemic Treaty: Pathogen Access and Benefit-Sharing (PABS), instrumen One Health, transfer teknologi, dan pendanaan. PABS bertujuan agar setiap data sharing yang melibatkan patogen dan informasi sekuens genetik disertai pembagian manfaat yang setimpal.
Pemerintah juga mendorong standar data internasional dan interoperabilitas, serta menginisiasi Material Transfer Agreement (MTA) untuk spesimen virus avian influenza. Selain itu, Pemerintah Indonesia mendukung pembentukan instrumen One Health untuk mengatur kesehatan manusia, hewan, dan lingkungan secara komprehensif dengan dukungan negara maju.
Transfer teknologi yang berkeadilan diharapkan dapat membangun kapasitas manufaktur lokal untuk produksi vaksin, terapi, dan diagnostik. Mengenai perizinan, Indonesia mendorong transparansi dan non-eksklusivitas, serta akses teknologi dan inovasi untuk negara berkembang.
Dalam hal pendanaan, Pemerintah Indonesia mendukung pendanaan yang setara dan dapat diakses oleh semua negara yang membutuhkan, termasuk melalui mekanisme seperti Pandemic Fund dengan penyesuaian sesuai konteks Pandemic Treaty.
Indonesia berupaya agar negosiasi Pandemic Treaty selesai secepatnya dan terus memperjuangkan kesetaraan akses untuk transfer pengetahuan dan teknologi. Pemerintah RI juga akan memperkuat legislasi nasional untuk kesiapan menghadapi ancaman pandemi lainnya.
Syahril menegaskan, anggapan bahwa WHO memiliki kewenangan mengatur negara dan penduduk selama pandemi adalah salah. Keputusan terkait penanganan pandemi tetap menjadi tanggung jawab pemerintah masing-masing negara.
“Cukup sudah jutaan nyawa melayang, kehilangan pekerjaan, penyandang gangguan mental, kerugian ekonomi yang masif selama pandemi COVID-19. Jangan kita ulangi kesalahan yang sama. Kita harus mewariskan dunia yang lebih aman dan lebih baik bagi anak cucu kita,” kata Syahril.
[RRI]
*Dapatkan berita pilihan terbaru setiap hari dari Dailykaltim.co. Informasi terbaru juga dapat dilihat dan diikuti di seluruh media sosial Dailykaltim.co termasuk Instagram, Facebook, X (twitter), Tiktok dan Youtube.