Dailykaltim.co – Bukan sekadar kekurangan, dunia kini tengah menghadapi kebangkrutan air. Begitu tegas Prof. Kaveh Madani, Direktur United Nations University – Institut Air, Lingkungan, dan Kesehatan (UNU-INWEH), saat memberikan kuliah umum di Institut Pertanian Bogor (IPB), dalam rangkaian kunjungannya ke Indonesia awal Juli 2025 lalu.
Kunjungan tersebut sekaligus menandai dimulainya kemitraan antara UNU-INWEH dengan Radio Republik Indonesia (RRI). Dalam kolaborasi ini, RRI akan berperan sebagai sekretariat regional Asia Pasifik untuk Global Media Academy—sebuah inisiatif UNU-INWEH yang dirancang untuk memperkuat pemahaman publik tentang isu air, lingkungan, dan kesehatan melalui pemberitaan yang berperspektif kebijakan.
“Air permukaan itu ibarat rekening harian kita, sedangkan air tanah adalah rekening tabungan kita yang seharusnya hanya digunakan dalam kondisi darurat,” kata Madani.
“Namun kini, banyak negara yang bergantung dan menguras rekening tabungan tersebut tanpa ada rencana untuk mengembalikannya,” tambahnya.
Di hadapan para mahasiswa dan civitas akademika IPB, Madani mengurai ancaman yang selama ini luput dari perhatian kolektif: kerusakan permanen terhadap sistem air akibat eksploitasi berlebihan, ketimpangan dalam distribusi air, hingga kegagalan membangun kesadaran politik untuk bertindak.
Indonesia pun tidak kebal. Meski diberkahi curah hujan yang melimpah, tantangan pengelolaan air membayangi dari berbagai sisi. Pengambilan air tanah secara masif di Jawa, amblesnya tanah di Jakarta, hingga rusaknya hutan di Sumatra dan Kalimantan, menandai betapa seriusnya persoalan ini. Ketika musim tak lagi dapat diprediksi, dan sumber air kian tak pasti, masyarakatlah yang menjadi korban pertama.
Di berbagai belahan dunia, situasi serupa terjadi dengan konteks berbeda. Negara-negara maju mengeksploitasi air lewat teknologi canggih, sementara kawasan seperti Afrika dan Amerika Selatan menderita “kelangkaan air berbasis ekonomi”, yakni air tersedia namun tak terjangkau akibat kemiskinan dan minimnya infrastruktur.
Tak berhenti di situ, Madani menyoroti perdagangan global yang tak adil atas air. “Inilah bentuk nyata dari ‘perdagangan air virtual’ yang mencerminkan ketidaksetaraan dalam isu lingkungan secara global,” katanya. Negara-negara berkembang memproduksi komoditas agrikultur dengan kebutuhan air tinggi, hanya untuk diekspor ke negara-negara maju—meninggalkan jejak ekologi yang berat di negara asal.
Krisis iklim memperparah segalanya. Pola hujan berubah, kekeringan meluas, dan suhu terus naik. Ekosistem air seperti rawa, danau, dan akuifer kian sulit dipulihkan. Di banyak tempat, air bukan hanya jadi isu lingkungan, tapi sudah menjadi sumber konflik.
“Masalah ini tidak bisa diselesaikan dalam semalam,” ujar Madani.
Ia menolak solusi tambal-sulam seperti membangun bendungan baru atau fasilitas desalinasi. Sebaliknya, ia menyerukan perubahan paradigma menuju adaptasi jangka panjang yang jujur, realistis, dan kolaboratif.
Menjawab pertanyaan audiens mengenai bagaimana membangun kemauan politik, Madani menyebut bahwa krisis bisa menjadi momentum perubahan. Dalam kekacauan, kebijakan dapat bergeser. Di sinilah pentingnya peran media, ilmuwan, dan masyarakat sipil untuk menjadikan air sebagai isu strategis dalam ruang publik.
Global Media Academy hadir dalam semangat itu. Dengan menguatkan kapasitas media, inisiatif ini mendorong cerita-cerita air dikisahkan lebih jernih, empatik, dan strategis—agar tidak hanya bicara kerusakan, tetapi juga harapan.
“Cerita sedih memang banyak, tetapi kita juga butuh cerita yang memberi harapan,” ucap Madani.
“Kita harus mengangkat kisah sukses dan belajar dari komunitas lokal. Dengan mengangkat kisah-kisah keberhasilan, terutama dari negara-negara berkembang, kita bisa sama-sama belajar demi membangun respons global yang lebih inklusif,” tandasnya.
[PRD]
*Dapatkan berita pilihan terbaru setiap hari dari Dailykaltim.co. Informasi terbaru juga dapat dilihat dan diikuti di seluruh media sosial Dailykaltim.co termasuk Instagram, Facebook, X (twitter), Tiktok dan Youtube.