Dailykaltim.co – Kematian, dalam setiap peradaban dan budaya, selalu menjadi peristiwa yang diselubungi makna mendalam. Ia bukan sekadar akhir, melainkan jembatan menuju fase kehidupan selanjutnya. Bagi etnik Tionghoa, khususnya di Kota Padang, Sumatera Barat, ritual kematian adalah manifestasi terpenting dari penghormatan kepada leluhur dan identitas kultural yang diwariskan secara turun-temurun. Di tengah arus modernisasi yang kian deras, tradisi ini menghadapi tantangan dan perubahan, namun tetap kokoh berdiri berkat peranan dua “kongsi kematian” historis: Himpunan Tjinta Teman (HTT) dan Himpunan Bersatu Teguh (HBT).
Penelitian ini dipublikasikan dalam jurnal ilmiah, berjudul “Kongsi Kematian dan perubahan Ritual Prosesi Kematian Tionghoa di Padang”. Ditulis oleh tiga peneliti terkemuka—Eniwati Erniwati dari Universitas Negeri Padang, Yelda Syafrina dari Universitas Negeri Padang, dan Zulfa Saumia dari Universitas Jambi—dan dipublikasikan dalam Paradigma: Jurnal Kajian Budaya, Volume 15, Nomor 1 (April 2025). Kajian ini memberikan gambaran komprehensif tentang bagaimana HTT dan HBT, yang telah berdiri sejak masa kolonial, menjadi tiang penyangga dalam menjaga keberlangsungan tradisi leluhur ini.
Sejarah komunitas Tionghoa di Padang telah mengukir jejaknya sendiri sejak masa kolonial Belanda. Pada tahun 1850, mereka membeli sebidang tanah di Bukit Gunung Padang untuk dijadikan pemakaman, yang dinamakan Sin Tiong. Pemilihan lokasi ini bukan tanpa alasan, melainkan didasarkan pada prinsip feng shuiyang meyakini bahwa makam yang bersandar pada gunung dan menghadap laut akan mendatangkan berkah. Pembelian lahan ini didanai oleh sumbangan para tokoh Tionghoa pada masa itu, seperti Kapiten Lie Pie Goan dan Letnan Tjoa Tiang Mo.
Selain tanah pemakaman, etnik Tionghoa Padang juga mendirikan berbagai kongsi, termasuk “kongsi kematian”. Kata “kongsi”, yang berasal dari kata kong (usaha) dan si (pengelolaan), tidak hanya merujuk pada kerja sama dalam usaha, melainkan juga dalam aktivitas sosial, terutama terkait ritual kematian. Strukturisasi yang dilakukan Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1894 meninggalkan HTT (sebelumnya bernama Hok Tek Tong) dan HBT (sebelumnya bernama Heng Beng Tong) sebagai dua kongsi kematian utama yang berperan penting sebagai wadah bagi para perantau Tionghoa.
Setelah Indonesia merdeka, kedua kongsi ini mengalami restrukturisasi. “Melalui Keputusan Presiden No. 240 Tahun 1967, pemerintah menganjurkan perubahan nama kongsi menjadi nama Indonesia.” Hok Tek Tong berubah menjadi Himpunan Tjinta Teman, dan Heng Beng Tong menjadi Himpunan Bersatu Teguh pada tahun yang sama. Perubahan ini tidak hanya pada nama, tetapi juga pada struktur dan anggaran dasar, yang kini mengukuhkan mereka sebagai organisasi sosial, budaya, dan pemakaman.
Tradisi ritual kematian Tionghoa dikenal dengan tahapan yang panjang dan biaya yang besar. Namun, seiring waktu, modernisasi membawa perubahan signifikan. Di Tiongkok, misalnya, praktik kremasi kini lebih umum dan dikelola oleh perusahaan pemakaman profesional. Fenomena serupa juga terjadi di Padang, di mana sejak tahun 2000, kremasi menjadi pilihan alternatif.
Penelitian ini mengungkapkan bahwa faktor-faktor seperti biaya pemakaman yang besar, efisiensi waktu, dan perubahan pola pikir generasi muda Tionghoa telah mendorong adopsi kremasi. Namun, meskipun metode pemakamannya berubah, esensi dan makna ritual tidak ditinggalkan. HTT dan HBT memastikan prosesi ritual tetap dilaksanakan sesuai tradisi, baik melalui penguburan maupun kremasi.
Salah satu aspek menarik dari perubahan ini adalah simbolisme yang menyertainya. Dulu, barang-barang berharga dikubur bersama jenazah, tetapi kini, replika simbolis—seperti rumah, mobil, atau uang kertas perak dan emas—dibakar untuk dikirimkan ke alam baka sebagai bekal. Hal ini mencerminkan adaptasi tradisi terhadap konteks zaman tanpa mengikis makna yang terkandung di dalamnya.
Keberadaan HTT dan HBT menjadi kunci utama dalam menjaga keberlangsungan ritual ini di Padang. Keterbatasan individu untuk menyelenggarakan prosesi yang rumit dan mahal membuat mereka memilih menjadi anggota salah satu kongsi. Kedua kongsi ini memiliki aturan keanggotaan yang jelas, di mana setiap anggota, atau hiati, harus mematuhi Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga yang telah ditetapkan. Aturan ini mencakup kewajiban seperti membayar iuran dan membantu dalam pemakaman anggota lain.
Sebaliknya, anggota juga mendapatkan hak istimewa, termasuk bantuan dalam penyelenggaraan ritual kematian. Yang paling menyentuh adalah praktik gotong royong yang masih hidup di antara para anggota. “Kongsi menyediakan bantuan bagi keluarga yang tidak mampu tanpa membebankan biaya.” Bahkan, ada tradisi di mana anggota yang mampu secara finansial berlomba-lomba memberikan donasi peti mati secara anonim, sebagai bentuk amal yang diyakini dapat mendatangkan rezeki. Ini menunjukkan bahwa di balik struktur formal, nilai-nilai solidaritas dan kebersamaan masih menjadi jiwa dari kongsi-kongsi ini.
Dengan demikian, ritual kematian etnik Tionghoa di Padang adalah sebuah narasi tentang adaptasi dan pemertahanan budaya. Melalui peran vital HTT dan HBT, tradisi ini terus berevolusi, memadukan penghormatan pada masa lalu dengan pragmatisme masa kini. Ia menjadi cerminan dari sebuah komunitas yang tidak hanya menjaga warisan leluhur, tetapi juga menjadikannya relevan di tengah dinamika dunia modern.
[UHD]
*Dapatkan berita pilihan terbaru setiap hari dari Dailykaltim.co. Informasi terbaru juga dapat dilihat dan diikuti di seluruh media sosial Dailykaltim.co termasuk Instagram, Facebook, X (twitter), Tiktok dan Youtube.