Dailykaltim.co – Di sebuah pulau kecil di gugusan Kepulauan Tukang Besi, Sulawesi Tenggara, hidup sebuah tradisi yang berbisik lembut di sela angin laut dan rimbun hutan kelapa. Kaledupa, yang namanya diambil dari kata Kauhedupa—“kayu dupa”—bukan hanya dikenal sebagai surga bawah laut dengan terumbu karang dan ikan warna-warni. Di pedalaman pulau ini, petani menjaga harmoni dengan alam melalui serangkaian mantra sakral yang disebut hembula’a, ritual lisan yang dipercaya menjaga keberhasilan bercocok tanam.
Ritual hembula’a bukan sekadar warisan budaya, ia adalah jembatan spiritual antara manusia, alam, dan entitas tak kasatmata. Penelitian berjudul “Fungsi dan Makna Mantra Hembula’a pada Masyarakat Kaledupa” yang diterbitkan di Jurnal Bastra, Vol. 7, No. 2, April–Juni 2022 oleh Nurul Fitria, Amirudin Rahim, dan La Ode Syukur dari Universitas Halu Oleo, Kendari, menyingkap lapisan-lapisan makna di balik tuturan kuno ini dengan pendekatan semiotik Roland Barthes.
Bagi masyarakat Kaledupa, bertani bukan hanya soal menanam dan menunggu panen. Setiap aktivitas di ladang, dari menyiapkan lahan hingga menanam benih jagung, ubi kayu, dan ubi jalar, diiringi oleh mantra yang berfungsi sebagai doa, pengingat, dan perlindungan.
Mantra hembula’a dibacakan oleh orang-orang yang dianggap memiliki pengetahuan adat, terkadang oleh perempuan yang cantik dan memiliki banyak anak—sebuah simbol keberuntungan. Sebelum menanam, petani mensucikan diri, memilih hari baik berdasarkan perhitungan tradisional, lalu menanam benih dengan iringan kata-kata sakral seperti:
“Kaana Komembulalomo” – Sekarang Saya Menanam Kamu
“Hitu Komba Maka Amo Tamoafa” – Tujuh Bulan Kita Akan Bertemu
“Bara Umanga Tei Yaku Manga Teikou” – Jangan Makan Saya, Saya yang Akan Makan Kamu
Setiap mantra membawa pesan, baik untuk memohon hasil panen melimpah, melindungi tanaman dari hama, hingga meneguhkan keyakinan bahwa proses bercocok tanam adalah dialog antara manusia dan alam semesta.
Penelitian ini menemukan bahwa hembula’a memiliki tiga fungsi utama. Pertama, fungsi religius yang menegaskan hubungan spiritual manusia dengan Sang Pencipta dan makhluk gaib penjaga ladang. Kedua, fungsi sosial yang memupuk solidaritas, sebab ritual dilakukan secara kolektif dan mengikat warga dalam satu irama budaya. Ketiga, fungsi ekonomi, karena masyarakat percaya tanpa ritual ini, tanaman lebih rentan gagal panen atau terserang hama.
Roland Barthes, melalui pendekatan semiotiknya, membantu menyingkap struktur makna dalam hembula’a. Ada kode proaretik yang muncul dalam tindakan mempersiapkan lahan dan menanam benih; kode hermeneutik dalam larangan-larangan yang mengandung misteri, seperti “jangan melihat benih saat disimpan”; dan kode kultural yang menyimpan jejak identitas kolektif Kaledupa sebagai masyarakat agraris yang religius.
Hembula’a adalah bukti bahwa tradisi lisan tidak sekadar romantisme masa lalu. Di tengah arus modernisasi yang kian menggeser praktik spiritual agraris, hembula’a menawarkan refleksi tentang cara hidup yang selaras dengan alam. Ritual ini mengingatkan bahwa panen yang melimpah bukan hanya hasil kerja tangan, tetapi juga buah dari kesadaran untuk menghormati lingkungan dan nilai-nilai leluhur.
Penelitian di Jurnal Bastra (2022) ini menegaskan bahwa memahami hembula’a bukan hanya soal melestarikan budaya lokal, tetapi juga membuka ruang dialog tentang cara kita menjaga bumi dan komunitas. Kata-kata yang diucapkan di ladang Kaledupa adalah puisi yang hidup—doa yang menautkan langit, bumi, dan manusia dalam satu tarikan napas.
Hembula’a menjadi penanda bahwa dalam setiap benih yang ditanam, tersimpan harapan akan harmoni. Dan di tengah ladang yang sunyi, mantra-mantra itu terus mengalun, menjaga sawah dan jiwa.
[UHD]
*Dapatkan berita pilihan terbaru setiap hari dari Dailykaltim.co. Informasi terbaru juga dapat dilihat dan diikuti di seluruh media sosial Dailykaltim.co termasuk Instagram, Facebook, X (twitter), Tiktok dan Youtube.