Dailykaltim.co – Di sebuah sudut sunyi di Desa Salaon, Kabupaten Samosir, ada pohon-pohon tua yang bukan sekadar tumbuhan. Mereka adalah penjaga, saksi bisu, sekaligus penghubung spiritual antara manusia dan Sang Pencipta. Di bawah naungan rimbunnya, masyarakat Batak Toba dari marga Sitanggang Lipan melaksanakan ritual Martangiang hu Aek Pohon-pohonan, sebuah upacara adat sakral yang diwariskan dari generasi ke generasi. Ritual ini tak hanya menjadi warisan budaya, tapi juga menjadi cara hidup, cara berdoa, dan cara menjaga hubungan dengan alam.
Penelitian bertajuk “Ritual Martangiang hu Aek Pohon-pohonan Ni Sitanggang Lipan Suku Batak Toba di Desa Salaon, Kabupaten Samosir” yang dilakukan oleh Anella R. Sitanggang, Rindy Any Br Tarigan, Fuza Anggriani, Agus Sibagariang, dan Lasenna Siallagan dari Universitas Negeri Medan, membedah struktur, makna, dan kedudukan ritual ini dalam kehidupan masyarakat. Artikel ini dimuat dalam Jurnal Adat dan Budaya, Volume 7, Nomor 1, Tahun 2025, halaman 130–135.
Dalam pandangan masyarakat Batak Toba, terutama kelompok marga Sitanggang Lipan, Aek Pohon-pohonan adalah sumber kehidupan yang sakral. Air dari lokasi ini diyakini berasal dari tujuh mata air yang dahulu ditunjukkan lewat mimpi leluhur Sitanggang. Di sekelilingnya, berdiri tegak pohon-pohon tinggi yang disebut sebagai tempat bersemayamnya Oppung—leluhur spiritual yang menjadi perantara antara manusia dan Tuhan.
Ritual Martangiang dilakukan dengan maksud mangido pangurupan, yaitu memohon perlindungan, kesehatan, dan kelimpahan. Prosesi ritual dimulai dari penentuan hari baik atau maniti ari yang dilakukan dengan berkonsultasi pada siboto ari, seorang penafsir spiritual.
Setelah hari ditetapkan, masyarakat mempersiapkan sesaji dan perlengkapan persembahan seperti kain putih (sakkolak), nitak ni hittang ni andalu, jeruk purut untuk pembersihan energi (anggir pangurason), pisang silambok-lambok, mentimun (ancimun), dan sirih (napuran). Masing-masing bahan memiliki simbolisme spiritual yang dalam, mencerminkan kelembutan hati, harapan, hingga peningkatan martabat manusia.
Upacara tidak hanya berisi doa dan persembahan. Ia juga menampilkan tarian dan nyanyian ritual yang telah menjadi bagian dari memori kolektif masyarakat. Pohon-pohon itu tak lagi hanya batang dan daun, tapi telah menjelma sebagai “opung yang hidup”—dihormati, diberi sesaji, dan dimintai petunjuk. Simbolisme ini menjadi bagian penting dalam menjaga tatanan kehidupan spiritual masyarakat Batak Toba.
Lebih dari sekadar ritual permohonan, Martangiang hu Aek Pohon-pohonan juga menjadi bagian dari konservasi ekologi. Kesadaran untuk menjaga kesakralan ruang alami di sekitar sumber air menunjukkan adanya keselarasan antara kepercayaan adat dan keberlanjutan lingkungan. Pohon tidak boleh ditebang sembarangan, dan kawasan tersebut dijaga agar tetap bersih dan tenang. Masyarakat memperlakukan alam sebagai bagian dari struktur spiritual dan moral yang tak terpisahkan dari kehidupan mereka.
Makna mendalam dari ritual ini juga memperlihatkan bagaimana spiritualitas Batak Toba membentuk hubungan timbal balik antara manusia, alam, dan yang ilahi. Dalam kehidupan yang kian disesaki teknologi dan konsumerisme, Martangiang hu Aek Pohon-pohonan menjadi semacam ruang kontemplatif yang mengembalikan manusia pada akar budaya, pada kesunyian yang penuh makna, dan pada relasi yang lebih dalam dengan semesta.
Ritual ini tidak hanya dijalankan karena kewajiban adat. Ia diyakini menyimpan kekuatan nyata—sembuhnya penyakit, datangnya rezeki, atau meredanya konflik sering dikaitkan dengan keberhasilan menjalankan ritual ini secara khidmat dan sesuai petunjuk leluhur. Penelitian ini menyimpulkan bahwa pelestarian ritual tidak bisa dilepaskan dari pewarisan nilai dan kesadaran kolektif. Tanpa keterlibatan generasi muda, warisan ini bisa saja perlahan memudar di tengah arus zaman.
Sebagaimana ditegaskan dalam artikel, Martangiang hu Aek Pohon-pohonan adalah lebih dari sekadar simbol budaya. Ia adalah bentuk keberlanjutan spiritual dan ekologi yang terjalin erat dalam tubuh masyarakat Batak Toba. Keberadaannya menandai satu hal penting: bahwa doa tidak harus diucapkan di gedung megah atau ditulis dalam bahasa kitab. Kadang, ia cukup diucapkan lirih di bawah pohon tua, di tepi mata air, kepada Oppung yang tak terlihat—dan dipercaya akan menyampaikannya kepada Tuhan.