Dailykaltim.co – Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menegaskan komitmennya untuk mendukung segala upaya dalam memerangi kejahatan eksploitasi seksual anak sesuai dengan tugas dan kewenangannya. PPATK menempatkan upaya penanganan kejahatan ini sebagai salah satu prioritas utama.
Komitmen tersebut diwujudkan melalui kerja sama erat antara PPATK dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), yang ditandai dengan penandatanganan Nota Kesepahaman dan Perjanjian Kerja Sama antara kedua lembaga untuk memerangi kejahatan seksual terhadap anak. Hal ini disampaikan oleh Koordinator Kelompok Hubungan Masyarakat PPATK, M. Natsir Kongah, dalam keterangan tertulis yang diterima pada Rabu (7/8/2024).
Data tahun 2024 mencatat sekitar 303 kasus anak korban eksploitasi ekonomi dan seksual, 128 anak korban perdagangan, dan 481 anak korban pornografi di Indonesia. Selain itu, ada dugaan sekitar 24.000 anak terlibat dalam prostitusi dengan frekuensi transaksi mencapai 130.000 kali dan nilai perputaran uang sebesar Rp127,371 miliar.
“Upaya PPATK memerangi kejahatan eksploitasi seksual anak tidak hanya terbatas pada lingkup domestik, tetapi juga mencakup wilayah regional seperti Asia Tenggara, Australia, Selandia Baru, hingga Pasifik,” ujar Natsir.
Pada pertemuan tahunan Financial Intelligence Consultative Group (FICG) di Melbourne, Australia, Mei 2024, delegasi PPATK mengajukan proposal penyusunan indikator red flag untuk transaksi keuangan mencurigakan terkait kejahatan eksploitasi seksual anak. Gagasan ini disetujui dan menjadi bagian dari proyek strategis FICG untuk periode 2024-2025.
FICG merupakan kelompok kerja yang mengumpulkan lembaga intelijen keuangan di wilayah Asia Tenggara, Australia, dan Selandia Baru, serta berperan penting dalam upaya anti-pencucian uang, pencegahan pendanaan terorisme, pencegahan pendanaan proliferasi senjata pemusnah massal, dan kejahatan keuangan lainnya.
Selama periode 2014-2024, terdapat 44 Laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan (LTKM) terkait kejahatan eksploitasi seksual anak. Sementara itu, Hasil Analisis (HA) PPATK terkait eksploitasi seksual anak mencatatkan 2 HA pada 2023, 34 HA pada 2021, dan 1 HA pada 2021 terkait Perdagangan Orang, Pornografi, Informasi dan Transaksi Elektronik, dan Perlindungan Anak.
Temuan aktivitas perdagangan orang di Indonesia pada 2022, termasuk eksploitasi seksual anak, menunjukkan perputaran uang sebesar Rp114 miliar.
Secara regional, PPATK bersama pemangku kepentingan terkait telah melaksanakan Focus-Group Discussion untuk menyusun draf Concept Note dan Kuesioner yang akan menghasilkan dokumen indikator red flag transaksi keuangan mencurigakan terkait kejahatan eksploitasi seksual anak. Proses ini melibatkan partisipasi aktif dari penyedia jasa keuangan, seperti perbankan, penyelenggara transfer dana (money remittance), penyelenggara dompet elektronik (e-wallet), dan pedagang fisik aset kripto (exchanger), serta lembaga intelijen keuangan, penegak hukum, dan pakar di bidang anti-eksploitasi seksual anak. Draf pertama dokumen ini ditargetkan selesai pada November 2024.
“PPATK berharap upaya memerangi kejahatan seksual anak menjadi komitmen bersama seluruh pihak, termasuk peran aktif masyarakat. Eksploitasi seksual anak memiliki dampak destruktif yang nyata dan mengancam kelangsungan hidup generasi penerus bangsa. Karena kejahatan ini cenderung lintas negara, kerja sama yang solid antara pihak regional dan internasional sangat diperlukan,” tutur Natsir.
Data Interpol pada Juni 2024 menunjukkan keterlibatan 69 negara dalam jejaring eksploitasi seksual anak, menjadikan forum seperti Konferensi ASEAN langkah penting untuk memperkuat komitmen dan tindakan nyata semua pihak yang terlibat.
Menurut Laporan Financial Intelligence Alliance, Eksploitasi Seksual pada Anak (ESA) dimungkinkan oleh adanya transaksi finansial antara pelaku dan korban, pelaku dan fasilitator/mucikari, atau pelaku dan pemasok. Transaksi ini terjadi karena kemudahan dalam memanfaatkan teknologi finansial yang banyak dikembangkan oleh penyedia jasa keuangan di ranah global. Diperlukan kecerdasan finansial untuk mendeteksi dan menghentikan eksploitasi seksual anak di sektor keuangan.
Kejahatan eksploitasi seksual anak, termasuk perdagangan anak untuk tujuan seksual, diketahui menghasilkan keuntungan yang signifikan. International Labour Organization memperkirakan total keuntungan dari kerja paksa, termasuk eksploitasi seksual, mencapai USD150,2 miliar per tahun. Pada 2014, keuntungan tahunan tertinggi tercatat di Asia (USD51,8 miliar) dan negara maju (USD46,9 miliar), karena tingginya jumlah korban di Asia dan besarnya keuntungan per korban di negara maju.
PPATK menemukan transaksi keuangan sebesar Rp114 miliar terkait tindak pidana perdagangan orang (TPPO) dan pornografi anak pada tahun 2022, yang termasuk dalam kejahatan eksploitasi seksual anak. Transaksi ini berhasil diungkap melalui pelacakan aktivitas perbankan.
PPATK mengungkapkan bahwa banyak pelaku pornografi anak menggunakan dompet digital/e-wallet untuk pembayaran konten. Para pelaku tidak hanya berasal dari Indonesia tetapi juga dari luar negeri, mencari konten eksploitasi seksual anak di Indonesia dan melakukan pembayaran melalui bank dan penyedia jasa keuangan lainnya.
ECPAT Indonesia, bekerja sama dengan Asosiasi Pengajar Hukum Pidana dan Kriminologi (ASPERHUPIKI) dan didukung oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak serta ASEAN Secretariat, menyelenggarakan Konferensi ASEAN tentang Pencegahan dan Respon terhadap Penyalahgunaan Penyedia Jasa Keuangan dalam Eksploitasi Seksual Anak di Bali pada 7-8 Agustus 2024.
Konferensi ASEAN ini juga didukung oleh lembaga yang peduli pada perlindungan anak seperti Yayasan Pusat Kajian Perlindungan Anak (PKPA), OUR Rescue Indonesia, dan Yayasan Kasih Yang Utama (YKYU).
Tujuan utama Konferensi ASEAN adalah untuk:
1. Meningkatkan kesadaran mengenai penyalahgunaan penyedia jasa keuangan dalam kejahatan eksploitasi seksual anak.
2. Menjelaskan situasi dan mengeksplorasi respons negara-negara ASEAN terhadap masalah ini.
3. Melibatkan pemangku kepentingan dalam diskusi untuk mendapatkan formula yang tepat dalam mengatasi masalah ini.
4. Mendapatkan praktik terbaik dari negara-negara ASEAN dalam mengatasi penyalahgunaan penyedia jasa keuangan untuk kejahatan eksploitasi seksual anak.
Pendekatan bersama diperlukan untuk mengidentifikasi dan menghentikan eksploitasi seksual anak di negara-negara ASEAN, melibatkan pemerintah, industri penyedia jasa keuangan, dan masyarakat luas. Perlu adanya Rencana Aksi Regional untuk Perlindungan Anak dari Segala Bentuk Eksploitasi Seksual di ASEAN, yang memerlukan langkah-langkah konkret dari Negara Anggota ASEAN, seperti:
– Menyusun instrumen hukum bagi perusahaan sektor swasta untuk melaporkan dan menghapus materi kekerasan seksual anak dari platform dan layanan mereka.
– Memobilisasi keterlibatan sektor swasta dan pemangku kepentingan lainnya dalam pemantauan, pencegahan, dan respon melalui regulasi, tanggung jawab sosial perusahaan, dan kolaborasi.
– Membangun kemitraan antara pemerintah, penegak hukum, dan sektor swasta untuk berbagi informasi terkait materi kekerasan seksual anak di ASEAN dan membantu penyedia jasa keuangan mengidentifikasi transaksi mencurigakan.
Berbagai pembicara hadir dalam konferensi ini, termasuk Tom Blissende dari AUSTRAC (Australian Transaction Reports and Analysis Centre), Diana Soraya NOOR dari PPATK, Tori Hill dari Western Union, Mattias Bryneson dari ECPAT International, R. Rinto Teguh Santoso dari OJK, John Carr dari UK’s Children’s Charities’ Coalition on Internet Safety (CHIS), Smita Mitra dari Crimes Against Children Unit Interpol, Lance P. Lueck dari OUR Rescue Indonesia, Yanti Kusumawardhani dari ACWC, dan Zoelda Anderton dari UNODC.