Dailykaltim.co – Di tengah bentangan Laut Banda yang biru keperakan, pulau kecil Banda Neira berdiri anggun di antara gugusan karang dan Gunung Api yang menjulang megah. Dahulu dikenal sebagai pusat rempah dunia, kini Banda menapaki babak baru sebagai model harmoni antara konservasi alam, budaya lokal, dan ekonomi pesisir berkelanjutan.
Masyarakat Banda kini tak lagi hanya bergantung pada hasil tangkapan laut atau komoditas pala, tetapi mulai mengelola potensi alam melalui program konservasi laut dan ekowisata berbasis masyarakat. Kesadaran baru tumbuh di kalangan warga bahwa menjaga laut berarti menjaga masa depan. Mereka menggunakan alat tangkap ramah lingkungan, menanam terumbu karang buatan, dan mengelola jalur wisata snorkeling secara kolektif untuk memastikan keberlanjutan sumber daya laut.
Dikenal luas sebagai surga penyelam dunia, Banda Neira kini menjadi destinasi utama wisata bahari Indonesia. Melalui program “Banda Dive Heritage Trail”, wisatawan diajak menikmati keindahan bawah laut sekaligus menelusuri jejak sejarah rempah dan kehidupan masyarakat lokal. Sebagian pendapatan dari kegiatan wisata dialokasikan untuk konservasi laut dan pemberdayaan ekonomi masyarakat, termasuk pelatihan pemandu wisata serta pengembangan kuliner berbasis hasil laut berkelanjutan.
Warisan budaya Banda Neira pun menjadi bagian tak terpisahkan dari daya tarik wisata. Rumah-rumah kolonial, Benteng Belgica, dan situs pengasingan Bung Hatta kini dirangkai dalam paket wisata sejarah yang berpadu dengan pesona alam laut Banda. Dengan pendekatan ini, pelestarian lingkungan berjalan seiring dengan pemeliharaan identitas budaya.
Meski potensinya besar, Banda Neira masih menghadapi tantangan khas wilayah pesisir, seperti kenaikan suhu laut, abrasi pantai, serta ketergantungan logistik dari luar pulau. Namun, dengan keseimbangan antara ekonomi, ekologi, dan sosial, pulau ini berpeluang menjadi model nasional ekonomi biru berbasis budaya maritim.
Pemerintah daerah memperkuat inisiatif melalui program “Desa Bahari Cerdas” dan “Kampung Iklim”, yang menitikberatkan pada adaptasi terhadap perubahan iklim dan peningkatan kapasitas masyarakat dalam pengelolaan sumber daya laut secara mandiri.
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menetapkan Banda Neira sebagai model integrasi konservasi laut, arkeologi, dan budaya maritim melalui program Laut untuk Kesejahteraan (LAUTRA). Inisiatif ini dirancang untuk menjaga keseimbangan antara aspek ekologi, ekonomi, dan sosial masyarakat pesisir.
“Program LAUTRA yang dijalankan KKP menempatkan Banda Neira sebagai kawasan prioritas karena memiliki kekayaan ekosistem laut sekaligus nilai sejarah dan budaya yang tinggi. Kami ingin membangun model pengelolaan laut yang tidak hanya lestari, tetapi juga mensejahterakan,” ujar Direktur Jenderal Pengelolaan Kelautan KKP, Koswara, dalam siaran resmi di Jakarta, Minggu, 26 Oktober 2025.
Gagasan tersebut turut mendapat dukungan akademisi melalui talk show “Pilar Ekonomi Berkelanjutan Masyarakat Pesisir Banda Neira” di Universitas Indonesia, yang mempertemukan pemangku kebijakan, peneliti, dan masyarakat pesisir.
Secara nasional, program LAUTRA mencakup 11 provinsi, 20 kawasan konservasi, dan 3 wilayah pengelolaan perikanan dengan total area mencapai 8,3 juta hektare. KKP menargetkan lebih dari 75 ribu penerima manfaat langsung, termasuk 30 persen kelompok perempuan pesisir, melalui empat komponen utama: penguatan kelembagaan konservasi, pembangunan ekonomi lokal, pembiayaan berkelanjutan (blue financing), dan manajemen proyek terpadu.
Direktur Jasa Bahari KKP, Enggar Sadtopo, menjelaskan bahwa program ini juga menyalurkan hibah dengan tiga skema, mulai dari micro grant senilai Rp150 juta hingga matching grant mencapai Rp1,25 miliar.
“Pendanaan program dilakukan melalui tiga skema hibah… Kami ingin memastikan ekonomi tumbuh tanpa merusak laut,” ujarnya.
Sementara itu, Rektor Universitas Banda Neira, Dr. Muhammad Farid, menggambarkan Banda sebagai “laboratorium hidup” pembangunan berkelanjutan yang membutuhkan kolaborasi lintas sektor. Dr. Kastana Sapanli dari IPB University menilai Banda Neira memiliki nilai ekologis dan historis penting sebagai bagian dari Coral Triangle dan Spice Islands, ideal untuk dikembangkan melalui eco-diving, heritage spice tourism, dan agrowisata pala.
Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono sebelumnya menegaskan pentingnya menyeimbangkan perlindungan ekosistem laut, pemberdayaan masyarakat, dan pertumbuhan ekonomi biru sebagai pilar pembangunan nasional.
Menjelang senja, ketika langit Banda Neira berubah jingga dan aroma pala tercium di udara, harmoni antara alam dan budaya itu terasa nyata. Anak-anak bermain di pantai, ibu-ibu menjemur pala, sementara Gunung Api Banda berdiri kokoh di kejauhan—seolah menjadi saksi kebangkitan ekonomi biru di negeri rempah.
Dari Banda, dunia belajar bahwa keberlanjutan bukan sekadar konsep, melainkan cara hidup. Alam menjadi sumber penghidupan, budaya menjadi jati diri, dan keduanya berpadu membangun masa depan yang seimbang antara kesejahteraan dan kelestarian.
[UHD]
*Dapatkan berita pilihan terbaru setiap hari dari Dailykaltim.co. Informasi terbaru juga dapat dilihat dan diikuti di seluruh media sosial Dailykaltim.co termasuk Instagram, Facebook, X (twitter), Tiktok dan Youtube.
