Dailykaltim.co – Di tengah gempuran budaya populer dan banjir informasi digital, kehidupan remaja Indonesia kian kompleks dan penuh pilihan. Di balik kebebasan mengekspresikan diri, tersembunyi pola perilaku baru yang perlahan tapi pasti mengubah cara mereka memandang kebutuhannya: konsumsi tak lagi sekadar pemenuhan, tetapi simbol eksistensi.
Sebuah penelitian yang dipublikasikan dalam Gadjah Mada Journal of Psychology, Vol. 3 No. 3 Tahun 2017, mengungkap hubungan erat antara gaya hidup hedonis dengan perilaku konsumtif pada remaja. Studi yang dilakukan oleh Ranti Tri Anggraini dan Fauzan Heru Santhoso dari Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada ini melibatkan 141 mahasiswa berusia 18-21 tahun, dan menghasilkan temuan penting: semakin tinggi kecenderungan hidup hedonis, semakin tinggi pula perilaku konsumtif remaja.
Dengan teknik analisis korelasi Product Moment dari Pearson, penelitian ini menunjukkan korelasi positif yang signifikan (r = 0,595, p < 0,05). Gaya hidup yang berfokus pada kesenangan dan simbol status terbukti menjadi pemicu utama meningkatnya konsumsi impulsif di kalangan mahasiswa. Meskipun rerata perilaku konsumtif dan gaya hidup hedonis dalam penelitian ini masih tergolong sedang, fenomena ini menunjukkan kecenderungan yang tidak bisa diabaikan.
Hedonisme, sebagaimana dijelaskan dalam studi ini, bukan sekadar soal senang-senang atau foya-foya. Ia merasuk dalam aktivitas, minat, dan opini remaja—tiga aspek yang menjadi indikator utama dalam instrumen pengukuran gaya hidup hedonis. Remaja dengan gaya hidup ini cenderung menghabiskan waktu di luar rumah, membeli barang-barang tidak esensial, serta lebih tertarik menjadi pusat perhatian sosial.
Sebaliknya, perilaku konsumtif diukur melalui lima aspek: pembelian impulsif, pemborosan, mudah terpengaruh, kepuasan, dan kesenangan. Dengan koefisien reliabilitas yang tinggi pada kedua skala (≥ 0,88), studi ini memiliki validitas kuat untuk menangkap realitas psikologis subjek.
Remaja, dalam berbagai literatur psikologi perkembangan, adalah kelompok usia yang sedang membentuk identitas diri. Mereka rentan terhadap tekanan sosial, mudah terbujuk oleh iklan, media sosial, atau simbol-simbol gaya hidup yang menonjolkan kebebasan, keindahan visual, dan kemewahan sebagai tolok ukur pencapaian hidup.
Salah satu temuan menarik dari studi ini adalah fakta bahwa perilaku konsumtif tidak berbeda secara signifikan antara laki-laki dan perempuan. Artinya, dorongan untuk membeli sesuatu demi kesenangan tidak mengenal batas gender. Namun, perbedaan signifikan muncul ketika dikaitkan dengan jumlah uang saku bulanan. Mahasiswa dengan uang saku lebih besar menunjukkan kecenderungan konsumtif yang lebih tinggi.
Hal ini memperkuat teori dari Kotler & Armstrong (1994) bahwa karakteristik sosio-ekonomi merupakan faktor kuat dalam membentuk perilaku konsumsi. Makin besar daya beli, makin besar pula kemungkinan konsumsi tak terkontrol.
Tak hanya itu, pengaruh budaya populer yang ditandai dengan maraknya pusat perbelanjaan, kafe, restoran cepat saji, hingga iklan media massa, semakin menegaskan peran lingkungan sosial sebagai cermin gaya hidup hedonis yang ditiru oleh remaja. Dalam bayang-bayang ini, konsumen muda belajar bahwa citra adalah segalanya—apa yang dikenakan, dikonsumsi, atau dibagikan di media sosial menjadi identitas baru yang dikurasi.
Fenomena ini menyimpan ironi. Di satu sisi, remaja tengah berproses membentuk kemandirian. Namun di sisi lain, mereka justru menjadi sasaran empuk industri gaya hidup yang memoles kenikmatan sesaat sebagai keharusan. Gaya hidup pun menjelma menjadi semacam “nilai tukar sosial”—di mana simbol kemewahan menggantikan substansi eksistensial.
Peneliti juga menyoroti bahwa gaya hidup hedonis di kalangan remaja berkaitan erat dengan keinginan untuk tampil mencolok, menonjol, dan diterima secara sosial. Sejalan dengan pemikiran Erikson tentang pencarian identitas, perilaku konsumtif menjadi sarana ekspresi diri, meskipun sering kali bersifat superfisial.
Fenomena seperti ini bukan semata soal menganalisis perilaku belanja. Ini tentang menelisik lebih dalam: bagaimana nilai, tekanan sosial, dan kekosongan makna dalam kehidupan modern saling berkelindan dan melahirkan pola-pola psikososial yang berulang.
Melalui studi ini, kita tidak hanya melihat korelasi statistik antara dua variabel, tetapi juga gejala sosial yang lebih luas—bagaimana generasi muda ditarik dalam pusaran konsumerisme sejak dini, dan bagaimana gaya hidup diproduksi sebagai norma yang mengikat.
Penelitian ini menyarankan agar remaja mulai menumbuhkan kesadaran diri terhadap pola konsumsi mereka. Menghindari pola hidup berlebihan menjadi langkah awal untuk membangun kemandirian psikologis yang matang. Sementara bagi para pendidik dan orang tua, ini adalah panggilan untuk kembali menanamkan nilai-nilai kritis, tidak hanya soal uang dan belanja, tapi juga soal makna hidup, tujuan, dan kemampuan membedakan kebutuhan dari keinginan.
[UHD]
*Dapatkan berita pilihan terbaru setiap hari dari Dailykaltim.co. Informasi terbaru juga dapat dilihat dan diikuti di seluruh media sosial Dailykaltim.co termasuk Instagram, Facebook, X (twitter), Tiktok dan Youtube.