Dailykaltim.co – Di Kecamatan Batalaiworu, Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara, ada sebuah ritual yang terus bertahan di tengah gelombang modernisasi: tradisi kampua. Lebih dari sekadar potong rambut bayi, ia adalah ritus sakral yang memadukan adat istiadat leluhur dengan ajaran Islam, sekaligus penanda masuknya seorang anak ke dalam lingkaran sosial dan spiritual masyarakat Muna.
Berdasarkan penelitian Laras Mahardika, La Aso, Laode Sahidin, dan Wa Kuasa Baka, yang termuat dalam Jurnal Fokus Penelitian Budaya: Masalah-Masalah Kebudayaan dan Masyarakat (Vol. 9, No. 2, 2024), kampua merupakan salah satu rite de passage penting yang diwariskan dari generasi ke generasi. Dilaksanakan ketika bayi berusia 44 hari—usia yang dipandang suci dan bersih—kampua bukan hanya simbol penyucian, tetapi juga perwujudan rasa syukur kepada Allah SWT atas karunia kehidupan.
Prosesi kampua di Batalaiworu dilaksanakan melalui empat tahapan utama. Dimulai dari katununo dupa (pembakaran kemenyan), tahap ini menjadi pembuka sekaligus simbol penyucian bayi. Aroma dupa yang membumbung dianggap mengiringi doa-doa yang dipanjatkan, menghadirkan suasana sakral yang mempersiapkan semua pihak untuk memasuki momen inti.
Tahap kedua adalah kabasano barasandi (pembacaan barasanji), lantunan syair-syair pujian dan shalawat Nabi Muhammad SAW yang mengiringi prosesi, menegaskan keterkaitan kampua dengan nilai-nilai Islam. Tahap ini bersifat fleksibel: keluarga yang mampu biasanya menggelarnya, sementara bagi yang tidak, prosesi tetap sah tanpa pembacaan barasandi.
Memasuki tahap inti, kaalano wulu bhe katandano wite, rambut bayi dipotong oleh modji (imam) di beberapa titik kepala, sementara kaki bayi disentuhkan ke tanah sebagai simbol perkenalan dengan bumi yang akan menjadi pijakan hidupnya kelak. Rambut yang dipotong disimpan di dalam kelapa merah, mengandung doa agar anak tumbuh sehat dan kuat.
Tahap terakhir adalah pembacaan doa haroa penutup. Doa ini memohon keberkahan, keselamatan, dan perlindungan dari segala keburukan bagi sang anak. Setelah doa selesai, prosesi ditutup dengan jamuan hidangan khas Muna yang dinikmati bersama keluarga, tetangga, dan tokoh masyarakat.
Kampua, merupakan titik temu antara tradisi lokal dan ajaran Islam. Ia tidak hanya memenuhi fungsi sosial, tetapi juga menjadi bagian dari praktik keagamaan yang memperkuat identitas komunitas Muna sebagai Muslim. Nilai-nilai yang terkandung di dalamnya mencakup religiusitas, kebersamaan, dan penghormatan terhadap leluhur.
Sejarah kampua sendiri erat terkait dengan penyebaran Islam di Muna pada abad ke-16. Peneliti terdahulu mencatat bahwa tradisi ini dipengaruhi oleh keberhasilan seorang ulama keturunan Arab yang mengobati istri Raja Sangia Latugho. Sejak itu, kampua menjadi bagian integral dari ritus kelahiran, menandai awal perjalanan hidup seorang anak dalam koridor budaya dan agama.
Dalam perspektif antropologis, kampua adalah bentuk rites of passage yang memisahkan bayi dari masa awal kehidupannya, membawanya ke fase baru sebagai anggota penuh komunitas. Nilai sosialnya jelas: memperkuat ikatan keluarga, mempererat hubungan antarwarga, dan menanamkan rasa kebersamaan melalui partisipasi kolektif.
Namun, sebagaimana tradisi lain, kampua menghadapi tantangan di era modern. Perubahan waktu pelaksanaan, misalnya, kini tak lagi kaku pada usia 44 hari, melainkan menyesuaikan kesiapan keluarga. Sementara itu, arus budaya global dan perubahan pola hidup mengancam kelestariannya jika tidak diwariskan secara sadar kepada generasi muda.
Penelitian ini menegaskan bahwa melestarikan kampua berarti mempertahankan identitas kultural Muna. Ia bukan sekadar ritual estetis, melainkan warisan yang menyatukan manusia dengan Tuhannya, keluarganya, dan tanah tempat ia berpijak. Dalam bahasa para peneliti, kampua adalah “tradisi sakral yang telah menjadi darah daging komunitas”—mewakili cara pandang hidup yang utuh dan berakar.
Dalam konteks masyarakat modern yang kerap terputus dari akar budayanya, kampua menjadi pengingat bahwa tradisi bisa menjadi jembatan, bukan penghalang, bagi kemajuan. Ia membuktikan bahwa adat dan agama dapat berjalan beriringan, saling memperkuat, dan bersama-sama membentuk masyarakat yang harmonis.
[UHD]
*Dapatkan berita pilihan terbaru setiap hari dari Dailykaltim.co. Informasi terbaru juga dapat dilihat dan diikuti di seluruh media sosial Dailykaltim.co termasuk Instagram, Facebook, X (twitter), Tiktok dan Youtube.