Dailykaltim.co – Priangan, nama yang kini melekat di peta Jawa Barat, sejatinya menyimpan lapisan sejarah yang tak sekadar tertulis di arsip atau terpatri pada batu nisan. Ia hidup dalam bentuk hunian-hunian kaum ménak, bangsawan Sunda yang berdiri di antara tradisi dan perubahan zaman. Di balik tembok tebal dan pendopo menjulang, rumah-rumah itu menjadi panggung di mana kekuasaan, tata nilai, dan kosmologi lokal saling bertaut—sebuah teks budaya yang dibaca lewat arsitektur.
Kajian Nina Herlina, Guru Besar Ilmu Sejarah Universitas Padjadjaran, dalam Jurnal Kajian Budaya dan Humaniora Vol. 7 No. 2, Juni 2025, halaman 100–108, menelusuri lanskap hunian kaum menak Priangan pada 1800–1942. Hunian ini bukan sekadar kediaman para penguasa daerah, melainkan pertemuan halus antara kemegahan adat, simbol-simbol spiritual, dan sentuhan modernisasi kolonial. Di sanalah ruang privat dan publik bersinggungan, membentuk narasi sosial yang kompleks.
Sebelum disebut Priangan, kawasan ini bernama Sumedanglarang. Pergantian nama terjadi ketika wilayah itu berada di bawah kekuasaan Mataram pada awal abad ke-17. Kehadiran VOC dan kemudian Pemerintah Hindia Belanda membawa struktur pemerintahan baru: kabupaten-kabupaten yang dipimpin bupati. Para bupati inilah inti kaum menak—aristokrasi yang memadukan garis keturunan kerajaan, jabatan administratif, dan martabat sosial.
Hunian mereka dibangun untuk memancarkan wibawa. Kompleks kabupaten, atau dalem, menyerupai miniatur keraton Jawa, lengkap dengan alun-alun, pendopo, dan halaman luas. Dalam rancangan itu, pendopo menjadi pusat interaksi publik—ruang terbuka untuk resepsi, upacara, dan pesta, sering dihiasi gamelan dan wayang golek. Tiang sokoguru berdiri sebagai penopang, tidak hanya secara fisik, tetapi juga dalam makna kosmologis. Dalam pandangan Sunda-Jawa, sokoguru adalah penjaga harmoni; bahkan tradisi lama menanamkan kurban di bawahnya—dahulu kepala manusia, lalu kepala kerbau—untuk menjaga keseimbangan semesta.
Sementara itu, dalem menyimpan kehidupan privat. Kaputren untuk putri-putri bupati, ruang makan dengan meja dan kursi bergaya Eropa, serta kamar-kamar luas bagi keluarga dan kerabat memperlihatkan percampuran halus antara tatanan tradisional dan selera kolonial.
Pertengahan abad ke-19, pemerintah kolonial melalui Dinas Pekerjaan Umum (B.O.W.) memperkenalkan regentswoning—rumah bupati bergaya Eropa dengan tembok tebal, atap genting, dan pilar Yunani. Meski dianggap kokoh, desain ini tak selalu diterima. Penolakan para bupati tak semata soal estetika, tetapi karena rancangan itu kerap mengabaikan makna simbolis dan fungsi sosial rumah tradisional, seperti ruang khusus tamu wanita atau area privat keluarga besar.
Beberapa bupati menolak beralih sepenuhnya. Pangeran Sugih di Sumedang, misalnya, tetap tinggal di rumah tradisional Srimanganti dan hanya menggunakan regentswoning untuk acara resmi. Bupati Ciamis R.A.A. Kusumadiningrat pun mempertahankan Keraton Selagangga sebagai hunian pribadi.
Rumah menak adalah galeri keanggunan: perabot kayu jati ukir, lampu kristal, piring perak, hingga piano yang diajarkan oleh guru Belanda untuk anak-anak bupati. Pusaka seperti kereta kuda Naga Paksi di Sumedang atau gamelan agung menjadi tanda kesinambungan warisan. Memasuki abad ke-20, mobil menjadi penanda kemewahan baru—Bupati Sumedang bahkan tercatat memiliki mobil Fiat pertama di Priangan.
Lingkungan hunian pun sarat makna. Kolam ikan gurame dan kancra bukan sekadar sumber pangan, tetapi bagian dari lanskap simbolik. Balong Gede di Bandung, kolam besar milik bupati, menjadi penanda prestise yang namanya tetap hidup meski fisiknya telah hilang.
Kini, banyak bangunan kabupaten tradisional lenyap, tergantikan kantor pemerintahan atau bangunan modern. Namun di Sumedang, jejak seperti Srimanganti, Bumi Kalér, dan Gedung Negara masih berdiri sebagai saksi bisu dialog panjang antara tradisi dan kolonialisme. Museum Prabu Geusan Ulun kini menyimpan perabot, pusaka, dan cerita yang dulu hanya beredar di lingkaran elite menak.
Kisah hunian kaum menak Priangan adalah cermin dialektika antara yang lama dan yang baru. Ia mengingatkan bahwa rumah bukan sekadar tempat bernaung, melainkan teks yang memuat tafsir kekuasaan, identitas, dan perubahan zaman. Seperti sokoguru yang menopang pendopo, warisan ini menjadi penyangga ingatan kolektif yang tak lekang di hati masyarakat Sunda.
[UHD]
*Dapatkan berita pilihan terbaru setiap hari dari Dailykaltim.co. Informasi terbaru juga dapat dilihat dan diikuti di seluruh media sosial Dailykaltim.co termasuk Instagram, Facebook, X (twitter), Tiktok dan Youtube.