Dailykaltim.co – Di banyak kampung Minangkabau, kelahiran seorang anak bukan sekadar kabar gembira. Sejak awal ia ditautkan dengan alam, tetangga, dan aturan halus yang membentuk rasa menjadi orang Minang. Di Nagari Tanjung Bonai Aur, Kecamatan Sumpur Kudus, Kabupaten Sijunjung, rangkaian itu bernama Turun Mandi—sebuah prosesi yang menautkan rumah, sumur, dan sungai, menyatukan lisan dan benda, doa dan gerak. Tak sekadar mandi pertama di luar rumah, ia adalah pintu masuk ke dunia: memperkenalkan udara tepi air, bebauan tunam yang dibakar, dan keramahan kolektif yang dirajut sejak pagi.
Wiranti Gusman (Universitas Andalas) dalam Jurnal Budaya FIB UB, Kajian Folklor Prosesi Turun Mandi di Nagari Tanjung Bonai Aur, Vol. 3 No. 1, Agustus 2022, hlm. 17–26 meneliti Turun Mandi sebagai folklor sebagian lisan—campuran doa dan mantra dengan gerak prosesi, benda, serta sesajen—menggunakan metode kualitatif, wawancara terarah, dan pengamatan langsung. Dari penelitian tersebut tersaji peta langkah, perangkat simbol, dan fungsi sosial-edukatif ritual yang masih hidup hingga kini—bahkan ketika pandemi memaksa sumur halaman menggantikan jejak ke sungai.
Empat simpul prosesi menjadi tulang punggung Turun Mandi dimulai dari “Mamanggigh”, yakni membuka jalan: undangan yang dibawa mamak rumah pada kaum lelaki—sebatang rokok di tangan—dan etek pada kaum perempuan—sirih di carano—bukan sekadar ajakan hadir, melainkan tanda syukur, solidaritas, dan gotong royong dapur. “Mandi kasumu” menjadi inti: induak bako menggendong si bayi, payung dibuka, shalawat mengalun, sementara talam berisi botie, pinaram, tebu, tujuh bungkus sipuluik, jariangau, kunyit putih, dan lime dibawa berarak ke sumur. “Manimanisi” adalah pengajaran rasa: nasi, sambal, gulai, dadiah, manisan, cabai, garam, dan gula tebu disuapkan dengan kerucut daun sirih, ditemani cincin emas untuk bayi perempuan atau batu akik untuk bayi laki-laki—sebagai pelajaran dini bahwa hidup mengandung manis, asin, asam, dan pedas. “Potong rambut dan kuku” menutup rangkaian: bunga kembang sepatu, bunga tali-tali, dan bunga merak dicampur dalam segelas air menampung potongan kecil itu, meneguhkan pesan rapi dan bersih.
Dalam kerangka folklor, setiap benda dan gerak memikul fungsi. Lentera dan tunam (kain dijalin tiga) yang dibakar menjadi proyeksi penerang hidup; pisau lipat melambangkan penjaga keselamatan; sisir, cermin, gunting, pemotong kuku, dan minyak mengajarkan kerapian; carano berisi sirih-pinang-soda-gambir-kapur-tembakau menjadi syarat sah adat; sementara umpuik sawik—tusukan bawang putih, jahe, kunyit kuning, kunyit putih, dan jeringau—berfungsi sebagai penolak bala. Tumbuhan seperti jariangau, kunyit putih, dan siriah bagagang ditanam di kanan-kiri sumur sesuai jenis kelamin bayi, sebagai doa pertumbuhan. Sementara makanan seperti botie, tebu, pinaram, dan sipuluik yang dibagikan sepanjang arak-arakan menjadi pendidikan berbagi sejak dini.
Dari temuan tersebut, kajian menegaskan dua fungsi besar Turun Mandi. Pertama, sebagai sistem proyeksi: ritual memantulkan cita-cita kolektif—anak yang diterangi, dilindungi, tumbuh, dan murah hati—serta mengesahkan pranata kekerabatan Minang (garis ibu, kehadiran bako, peran mamak). Kedua, sebagai alat pendidikan anak: alam takambang jadi guru, tetapi rumah dan kampung adalah sekolah pertama. Mandi kasumu mengenalkan dunia luar; manimanisi mengajarkan ragam rasa; potong rambut dan kuku melatih kebersihan; mamanggigh menanamkan silaturahmi. Di sini, folklor tampil bukan sebagai benda mati, melainkan kurikulum sosial yang diwariskan melalui laku.
Penelitian juga menyoroti elastisitas adat. Lokasi mandi berubah mengikuti kondisi: dari hutan dan sungai ke sumur halaman; dari arak-arakan meriah ke format sederhana saat pandemi—tanpa menghilangkan inti. Di dapur, perempuan membawa makanan untuk memperluas jejaring berbagi; di ruang depan, laki-laki bermufakat menentukan waktu dan tata cara. Turun Mandi tidak beku; ia bernafas, menyesuaikan, sekaligus tetap menyampirkan makna.
Pada aras teori, artikel menempatkan Turun Mandi dalam kerangka folklor Indonesia sebagaimana dirumuskan James Danandjaja—tradisi yang diwariskan lisan, tradisional, milik kolektif, memiliki fungsi, pola, dan varian—serta empat fungsi klasik Bascom: proyeksi angan-angan, pengesahan pranata, pendidikan, dan kontrol norma. Dengan bukti lapangan—daftar benda, susunan talam, dialog mamanggigh, tata tanam di kanan-kiri sumur, hingga paket syukur dalam manimanisi—penelitian ini memperlihatkan bagaimana pengetahuan rakyat dihidupkan melalui isyarat, bukan ceramah; melalui tindakan, bukan jargon.
Ada pula irisan menarik antara simbol dan praktik. Payung yang menaungi bayi bukan sekadar perlindungan fisik, melainkan metafora payung adat. Talam yang diarak bukan hanya wadah, tetapi palimpsest nilai: estetika, gizi, doa, dan etika. Kerucut sirih yang menyuapkan rasa pada bayi mengikat tradisi lisan dan kinestetik; cincin emas atau akik yang menyentuh bibir menandai gender sekaligus mengingatkan bahwa adat adalah kesepakatan sosial yang terus bisa ditafsir ulang.
Pada akhirnya, ritual adalah ingatan kolektif yang dirawat bersama. Di Tanjung Bonai Aur, Turun Mandi memelihara hal-hal kecil yang membuat kampung tetap menjadi kampung: orang saling memanggigh dan datang, dapur bergolak, doa terlantun, air sumur terciprat pada kening anak. Dari sanalah lahir jati diri pertama seorang manusia: rasa bagian dari yang lebih besar. Di tengah dunia yang kian cair, penelitian ini mengingatkan: adat yang hidup adalah adat yang mengajar tanpa menggurui—menuntun bayi menyeberangi ambang rumah, memperkenalkan langit, angin, dan air; sekaligus menyematkan pesan bahwa hidup adalah berbagi.
[UHD]
*Dapatkan berita pilihan terbaru setiap hari dari Dailykaltim.co. Informasi terbaru juga dapat dilihat dan diikuti di seluruh media sosial Dailykaltim.co termasuk Instagram, Facebook, X (twitter), Tiktok dan Youtube.
