Dailykaltim.co, Penajam – Di tengah gencarnya upaya meningkatkan minat baca dan memperluas jangkauan literasi, Dinas Perpustakaan dan Arsip (Dispusip) Kabupaten Penajam Paser Utara (PPU) menghadapi tantangan mendasar yang belum terselesaikan: keterbatasan sumber daya manusia, khususnya tenaga pustakawan.
Sekretaris Dispusip PPU, Aswar Bakri, menyebut bahwa persoalan ini bukan hanya menyangkut kuantitas, tetapi juga kapasitas dan latar belakang keilmuan pustakawan yang dibutuhkan.
“Di PPU, ketersediaan SDM ini yang jadi tantangan. Kami punya kekuatan—status tetap itu ada sekitar 31 orang, baik pustakawan maupun pendukungnya,” kata Aswar.
Angka 31 orang itu, menurutnya, mencakup seluruh tenaga tetap yang mengelola layanan perpustakaan tingkat kabupaten. Termasuk di dalamnya petugas lapangan, staf layanan, serta pustakawan dengan latar belakang akademik di bidang ilmu perpustakaan.
Namun jumlah itu dinilai belum ideal jika dibandingkan dengan cakupan wilayah kerja, volume koleksi, hingga kebutuhan mobilisasi program literasi yang terus berkembang.
Bagi Aswar, masalah SDM bukan sekadar angka, tetapi menyangkut kualitas dan spesialisasi. Pengelolaan perpustakaan yang modern menuntut pustakawan dengan keahlian multidisipliner: mampu mengelola sistem klasifikasi digital, memahami strategi literasi berbasis komunitas, dan menjalankan layanan edukatif di lapangan.
“Pengelolanya ini yang jadi persoalan dan itu tidak bisa ketinggalan jalan. Faktor-faktor sarana prasarananya, aksesnya, SDM-nya yang mengolah, karena itu ada poinnya dan diukur,” ujarnya.
Dalam sistem penilaian Indeks Pembangunan Literasi Masyarakat (IPLM) yang dikembangkan Perpustakaan Nasional, indikator SDM menjadi komponen utama. Penilaian tidak hanya menghitung jumlah pustakawan, tetapi juga mencakup aspek kompetensi, latar belakang keilmuan, hingga keterlibatan mereka dalam pelatihan dan pengembangan diri. Maka, ketika kualitas SDM lemah, nilai indeks daerah juga akan terdampak.
Menurut Aswar, sebagian besar pengelola taman bacaan di desa masih berasal dari relawan atau staf non-pustakawan. Banyak di antaranya yang belum pernah menerima pelatihan dasar literasi atau manajemen perpustakaan. Situasi ini menyebabkan banyak koleksi tidak tersusun dengan baik, kegiatan tak terkelola optimal, dan pengunjung tidak mendapat pengalaman membaca yang berkesan.
“Jadi memang jadi persoalan ini yang basis keilmuan itu tentang perpustakaan. Artinya dari sisi jumlah harusnya masih bisa bertambah, harus bertambah lagi, sangat dibutuhkan,” katanya menegaskan.
Sebagai langkah awal, Dispusip PPU saat ini sedang menyusun program pelatihan bagi pengelola taman baca berbasis desa dan sekolah. Program ini ditujukan untuk meningkatkan keterampilan dasar manajemen pustaka, pelayanan informasi, hingga pemanfaatan teknologi dalam layanan baca.
Aswar juga menyebutkan bahwa Dispusip telah mengajukan usulan formasi pustakawan ke BKPSDM untuk rekrutmen ASN mendatang. Selain itu, pihaknya tengah menjajaki kerja sama dengan perguruan tinggi yang memiliki program studi ilmu perpustakaan untuk penempatan mahasiswa magang di PPU sebagai bagian dari alih ilmu dan penguatan jejaring literasi.
Pustakawan, kata Aswar, bukan sekadar pelengkap administratif. Mereka adalah aktor utama dalam membangun kesadaran baca dan budaya literasi. Ketika jumlahnya terbatas dan latar belakangnya tidak sesuai, upaya besar-besaran membangun literasi akan kehilangan motor penggeraknya.
“Kalau akses, buku, dan teknologi sudah tersedia, tapi SDM-nya tertinggal, ya kita tidak akan bisa jalan cepat,”pungkasnya.
[RRI | ADV DISKOMINFO PPU]
*Dapatkan berita pilihan terbaru setiap hari dari Dailykaltim.co. Informasi terbaru juga dapat dilihat dan diikuti di seluruh media sosial Dailykaltim.co termasuk Instagram, Facebook, X (twitter), Tiktok dan Youtube.